(Opini) Menggugat Teknologi Saat Hoaks Diproduksi

By Admin


“Saya tidak setuju dengan apa yang anda katakan, tetapi saya akan mempertahankan sampai mati hak anda untuk mengatakannya” (Voltaire)

Di zaman sekarang. Sesuatu yang sebelumnya dianggap mustahil, kini dengan mudah didapatkan dan dinikmati. Sains dan teknologi dengan sejumlah rekayasanya telah merubah gaya hidup dan sudut pandang kita. 

Dulu. Dosen saya pernah berseloroh, saintis itu orang yang selalu gelisah. Galau, begitu anak milenial menyebutnya. Kegelisahan muncul setiap ada masalah dan fakta-fakta baru. Mungkin karena itu, Einstein pernah bilang, “sains dimulai dengan fakta dan diakhiri dengan fakta”. Einstein ingin menegaskan bahwa abstraksi intelektul yang kerap ditawarkan para saintis merupakan paduan antara pengalaman empiris dan pendekatan rasional. Karenanya, dengan pisau rasional, sains terkonstruksi secara konsisten sedangkan dengan pisau emipiris, sains membuat batas tegas antara mitos dan fakta. 

Paduan pengalaman empiris dan pendekatan rasional inilah yang kemudian dikenal dengan metode ilmiah, langkah mengurai masalah dengan mudah. Dalam perkembangannya, pengejahwantahan metode ilmiah bermuara pada preskripsi teknologi. Dan dunia industri dengan jeli mengaplikasikannya dalam sebuah sistem produksi dengan kontrol penuh teknologi hingga merevolusi proses produksi.

Tapi, apakah sains dan teknologi itu bebas nilai?. Ada pernyataan Einstein yang lain, yang menarik “Science without religion is lame, religion without science is blind”, dimuat dalam tulisannya “Science and religion,” terbit tahun 1954. Saat itu, pernyataan tersebut menyulut kontroversi ditengah relasi antara sains dan agama yang sering digambarkan tidak akur dan saling serang. Masing-masing berusaha mendominasi. Ingin menjadi otoritas tertinggi.

M. Fethullah Gulen, Intelektual Muslim asal Turki, memandang ilmu pengetahuan dan iman tidak hanya bersesuaian (compatible) tetapi saling melengkapi. Namun, Gulen, mengutip Mutamakkin Billa dalam salah satu tulisannya, “Pemaknaan Teologis M. Fethullah Gulen tentang Relasi Agama dan Sains, memposisikan kebenaran ilmiah sebagai semata hanya pengantar menuju kebenaran agama. 

Jika sebelumnya, filsafat dianggap sebagai budak/pelayan teologi, maka saat ini peran tersebut,menurut Gulen, harus dimainkan sains. Sains harus bisa menyajikan fakta yang dapat digunakan untuk menjelaskan fakta-fakta Islam. Gulen tampak sangat kritis terhadap berbagai kecenderungan saintisme di kalangan Muslim kontemporer yang berusaha menjustifikasi agama atau memperkuat kredibilitasnya melalui fakta-fakta ilmiah modern, yang menurut Gülen, justru menegaskan keunggulan kebenaran sains di atas kebenaran agama.

Watak sains sendiri bebas nilai, obyektif dan netral. Sementara teknologi, pada kondisi tertentu bisa menjadi tidak netral, berpotensi destruktif dan menghegemoni. Hal ini terjadi karena teknologi kerap dijadikan instrumen dalam sistem produksi yang sangat dipengaruhi corak politik, ekonomi dan sosial-budaya.

Maka, jangan heran seandainya jika pola hubungan, upaya perbaikan tata kelola kehidupan masayarakat dilakukan dengan pendekatan teknologi justru menimbulkan masalah baru. Teknologi dengan wajahnya yang lain memberikan saham besar merubah kehidupan manusia tidak lagi humanis terlebih di era teknologi informasi.

Memang, tingkat ketergantungan kepada informasi begitu tinggi. Seolah menjadi kebutuhan primer, baik dalam ranah privat maupun sektor publik. Dan dengan kemajuan teknologi, semua itu bisa difasilitasi. Bagi penyelenggara layanan publik, informasi adalah ujung tombak. Penetrasi, daya jangkau dan respon publik menjadi tolak ukur sejauh mana mandat pelayanan dilaksanakan sesuai dengan undang-undang dan peraturan.

Dulu, sebelum reformasi bergulir, arah dan lalu lintas informasi bisa dikendalikan terutama informasi-informasi yang bersumber dari lembaga Negara. Kebutuhan publik terhadap informasi belum semassif sekarang ini. Informasi hanya diperlukan oleh pihak-pihak tertentu. Berbeda dengan kondisi sekarang. Bukan saja kebutuhan informasi yang tinggi, tapi semangat untuk menyebarkan informasi yang didapat pun besar.

Selain “berkah”, era reformasi pada sisi lain juga bak musibah bagi mereka yang tidak memiliki daya literasi dalam mengkonsumsi dan menggunakan informasi. Negara sebetulnya sudah membekali warganya dengan UU ITE, UU Pers UU KIP dan peraturan lainnya sebagai pagar agar pengguna informasi tidak terjerembab informasi yang menyesatkan (hoaks). Karena siapa saja berpotensi untuk memproduksi dan menyebarkan informasi hoaks, individu maupun lembaga Negara.

Dalam konteks layanan publik, lembaga publik wajib hukumya untuk menyampaikan informasi kecuali informasi yang terbatas dan dikecualikan. Karenanya, dalam mendiseminasi informasi setidaknya ada empat prinsip, bukan hanya sebagai benteng agar terhindar getah hoaks tapi juga untuk menarik simpati dan dukungan publik. 

Prinsip pertama, Fathonah, berarti cerdas, baik content informasi maupun petugas yang memberikan layanan informasi. Kedua, Amanah, artinya informasi yang disajikan terpercaya, bisa dipertanggungjawabkan, Ketiga, Sidiq, informasi yang diedarkan adalah benar dan jujur tidak lebay, Keempat, Tabligh, berarti informasi yang disebarluaskan mampu menggerakkan orang untuk menjadi bagian dari setiap program lembaga publik.

Sekali lagi, teknologi pada kondisi tertentu berpotenai destruktif. Sosial media dan akses internet sebagai medium informasi sudah memberikan fakta bahwa penggunaan informasi yang tidak arif, akan menarik kembali peradaban bangsa ini ke belakang. Jauh dari apa yang dicita-citakan pendahulu kita, mencerdaskan kehidupan bangsa.


Zaki Nabiha

_ASN Bekerja di Biro Humas dan Informasi Publik Kementan_