Oleh : M. Ridha Rasyid

(Praktisi dan Pemerhati Pemerintahan)

Dalam situasi krisis, sejatinya setiap daerah dapat mengkreasikan kegiatan, program dan kebijakan sesuai karakteristik , geografi, kondisi penduduknya, kemampuan sumber dayanya dan anggaran yang tersedia.

Otonomi daerah itu merupakan pendelegasian kewenangan pemerintah pusat kepada daerah untuk mengatur daerahnya, mendekatkan sebagian besar urusan pemerintahan untuk dikelola secara baik serta menangani suatu krisis dalam kerangka melaksanakan tugas pemerintah pusat di daerah.

Sebagaimana kita tahu, bahwa kedudukan propinsi sebagai wakil pemerintah pusat di daerah selaku koordinator di daerah agar semua kebijakan pemerintah pusat dapat dilaksanakan sesuai koridor peraturan perundang undangan yang ada. 

Memang, sedikit berbeda dengan sistem federalistik, di mana dalam sistem ini kekuasaan sepenuhnya ada pada wilayah federal. Oleh karena pembentukan negara federal, adalah kesepakatan setiap daerah untuk bersama sama menyatukan diri dalam pemerintahan federal. Sementara otonomi daerah merupakan penyerahan sejumlah urusan pemerintah pusat kepada daerah untuk dilaksanakan oleh pemerintah daerah.

Namun esensinya sama antara sistem federal dengan sistem otonomi atau desentralistik, yaitu otoritas sejumlah urusan pemerintahan. Di awal era reformasi, terjadi perubahan kepemimpinan yang tiba tiba, atau tidak pernah diperhitungkan akan terjadi secepat itu, sehingga tidak ada persiapan yang matang dan komprehensif untuk menyusun konsep tata kelola pemerintahan dan manajemen negara yang dapat memenuhi "hasrat" rakyat.

Yang ketika itu, lebih banyak berorientasi pada upaya "menjatuhkan" kepemimpinan orde baru yang otoriter. Euforia demokrasi menjadi hal yang diagung agungkan tanpa membentuk suatu subsistem pengimpelentasiannya.

Sehingga terjadi perubahan pola berfikir bahwa segenap lembaga negara wajib menerapkan demokrasi. Akhirnya, satu dekade awal perjalanan era reformasi ini, menjadi tidak jelas ke arah sana kita harus lalui. Serba coba coba. Dengan lahirnya UU No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, di mana substansi pentingnya, memberikan otoritas kepada daerah secara luas, sementara pemerintah pusat "hanya" mengurusi hal hal yang sifatnya sangat strategis (tujuh urusan penting yang menjadi kewenangannya) , yang kemudian mulai diimplementasikan pada tahun 2001.

Tetapi rupanya banyak pihak yang kemudian "mulai gelisah" dengan pandangan bahwa kewenangan yang terlalu luas kepada daerah, telah membuat daerah berjalan tanpa arah, tercipta raja raja kecil di daerah, termasuk DPRD yang dapat meng-impeachment kepala daerah, maka pemerintah pusat kemudian melakukan perubahan besar atas undang undang ini, kemudian bersama DPR mengesahkan UU 32 Tahun 2004.

Artinya umur otonomi daerah itu hanya berlangsung kurang lebih tiga tahun saja, setelah itu terjadi resentralisasi yang ditandai dengan penegasan pemerintah melalui revisi undang undang, lahir-lah UU No 23 Tahun 2014. Perjalanan otonomi daerah hingga memasuki lebih dari dua dasawarsa umur era reformasi "semakin kabur".


Sikap Daerah Menangani Krisis

Kerinduan daerah terhadap otonomi daerah menjadi terbuka tatkala terjadi krisis penyebaran virus corona yang semakin luas. Setiap daerah "dengan caranya" masing masing melakukan upaya penanganan sendiri.

Ada yang melakukan "penguncian" akses keluar masuk, ada yang justru menutup beberapa ruas jalan protokol, hingga ada kampung/desa yang membolehkan penduduk setempat saja yang bisa beraktifitas, sementara orang dari luar desa itu tidak bisa masuk. Dari sisi kesehatan, daerah yang punya anggaran besar, berusaha menyediakan alat kesehatan supaya penanganannya lebih cepat, tepat dan memenuhi standar kesehatan.

Sementara daerah yang anggarannya relatif kecil, akhirnya menindak pasien "apa adanya". Yang jelas, sejumlah kebijakan dan program penanganan krisis diterjemahkan sesuai "selera" daerah tersebut.

Misalnya, karantina wilayah, beberapa daerah sudah melakukan itu dengan mengacu pada undang undang No 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Tidak ada atau kurang koordinasi antara pemerintah daerah dengan pemerintah pusat. Menyikapi perbedaan tersebut, akhirnya pemerintah pusat mengeluarkan Peraturan Pemerintah No 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam Penanganan Penyebaran Covid19. 

Peraturan ini dimaksudkan agar daerah tidak berjalan sendiri, membuat kebijakan sendiri ataupun menangani krisis dengan mengacu pada pikiran dan pertimbangannya, sehingga pusat agak sulit melakukan kontrol terhadap cara dan bagaimana menangani korban maupun yang berdampak. Sejumlah stimulus anggaran yang dikucurkan pemerintah untuk membantu masyarakat. Ini bentuk hadirnya pemerintahan di tengah krisis yang melanda bumi pertiwi. 

Oleh karena itu, sesungguhnya otonomi daerah dan pada saat yang sama, kebijakan pemerintah pusat dalam menghadapi krisis, bukan menjadi pemisah kewenangan , tetapi menyatukan sikap dalam memenuhi hajat masyarakat untuk terhindar dari paparan virus yang berbahaya ini.

Daerah tidak boleh local sentris cara berfikiir dan bertindaknya, sinkronisasi pelaksanaan kebijakan menjadi suatu keniscayaan. Walaupun kita tahu, bahwa daerah sangat "membutuhkan" otonomi iitu, namun juga harus bisa memahami bahwa kemampuan daerah masih sangat terbatas, kecuali daerah yang memiliki sumber daya alam yang besar, masih memungkinkan mendanai semua programnya.

Otonomi daerah yang kita terapkan ini berbeda misalnya, dengan Jerman yang melakukan hal sama, semi federalistik dan otonomi daerah, tetapi bagi kita harus tetap berada dalam bingkai negara kesatuan. 

Membangun Kerja Sama

Prinsipnya, otonomi daerah itu adalah kerjasama. Tidak ada daerah di manapun, yang bisa mengurus daerahnya sendiri. Tidak akan mungkin daerah bisa berkembang dengan mengandalkan potensi yang dipunyainya.

Kerjasama antar daerah, kerjasama antar pemerintah pusat dan daerah adalah suatu keharusan yang hakiki. Kita tidak boleh hanya berfikir untuk kepentingan daerah sendiri, sementara masyarakatnya yang dinamis, memerlukan adanya akses untuk mengembangkan diri dan usahanya atau bisnis yang dilakukan.

Oleh sebab itu, kerja sama dalam frame otonomi daerah yakni terwujudnya suatu kesatuan sikap dan hubungan relasi yang lebih baik untuk mengembangkan serta mengeksplor potensi sumber daya yang ada. Keterpaduan antar daerah, terutama wilayah yang terdekat darinya, merupakan kapital yang cukup kerjasama itu tercipta dengan baik. 

Apa yang kita hadapi sekarang dengan krisis covid19, adalah tantangan baru dalam hubungan pelaksaan otonomi daerah ini. Dengan keterbatasan rumah sakit rujukan menangani korban terpapar virus ini, menunjukkan bahwa kerjasama itu tidak ternafikan oleh "kebanggaan" terhadap daerah sendiri.

Ini harus menjadi pembelajaran, bahwa bila suatu krisis terjadi, apakah itu krisis bencana alam, non alam ataupun krisis lainnya, kerja sama antar daerah perlu dipupuk sejak dini, karena kita tidak tahu kapan datangnya suatu musibah, sementara kita kurang siap, sementara ada daerah yang lebih sigap dalam membuat perencanaan pembangunan daerahnya, ini merupakan keterpaduan antara yang kurang dan yang mampu. Itu lah esensi kerjasama dalam perspektif otonomi daerah. 

Wallahu 'alam bisshawab 

Makassar, 2/4/2020