Semangat Bersama Indonesia-Iran-RRT Lestarikan Warisan Budaya TakBenda

By Admin

nusakini.com-- Upaya pelestarian warisan budaya takbenda belum segencar pelestarian warisan budaya benda. Strategi untuk menonjolkan warisan budaya tak benda diperlukan. Hal itupun menjadi kesepakatan bersama antara Indonesia, Iran, dan Republik Rakyat Tiongkok (RRT), dalam diskusi kebudayaan di World Culture Forum (WCF) atau Forum Budaya Dunia Tahun 2016. 

Maestro Patung Indonesia, Nyoman Nuarta mengatakan, strategi menonjolkan warisan budaya takbenda harus didahului dengan mengubah mindset atau pola pikir mengenai kebudayaan itu sendiri. 

“Bangsa ini masih melihat kebudayaan sebagai yang sesuatu yang tak berpenghasilan apa-apa. Kita harus mengubah pola pikir itu. Kita perlu memiliki pengertian luas (mengenai kebudayaan) supaya bisa membenahinya dengan baik,” ujarnya saat konferensi pers di Bali Nusa Dua Convention Center, Bali, kemarin.

Nyoman memberi contoh melalui pengelolaan Subak di Bali. Dilihat dari sisi agrikultur, katanya, Subak belum mampu menghasilkan apa-apa. “Bali itu mengandalkan kulturnya, bukan agrikulturnya. Kehadiran Subak justru menjadi penunjang kebudayaan itu sendiri,” tutur Nyoman yang menjadi salah satu pembicara dalam Simposium 3 dengan tema “Interweaving History, Urban Space, Cultural Movement” atau “Menjalin Sejarah, Ruang Kota, dan Gerakan Budaya”. 

Subak merupakan sistem pengairan sawah dengan menggunakan kearifan lokal Tri Hita Karana, yaitu hubungan harmonis antara manusia dengan Tuhan (Parahyangan), manusia dengan sesama (Pawongan), dan manusia dengan alamnya (Palemahan). Karena itu diperlukan adanya kebijaksanaan dalam pembangunan antara pemerintah pusat dengan industri pariwisata. “Justru hotel ada karena adanya kebudayaan dan kearifan lokal di sana,” kata Nyoman. 

  Direktur Pusat Rekonstruksi Pedesaan Lian Shuming Republik Rakyat Tiongkok, Lanying Zhang, mengatakan, kondisi geografis dan alam Indonesia dapat menjadi potensi alternatif solusi pengembangan Warisan Budaya Tak Benda. 

“Ada karakteristik persamaan antara pengelolaan persawahan Indonesia dengan RRT, yaitu memenuhi kebutuhan populasi yang besar. Seperti terdapat pada Tiongkok yang banyak populasi di wilayah Tiongkok bagian barat daya dan utara,” ujar Lanying yang menjadi pembicara di Simposium 1 dengan tema “Reviving Culture for Rural Sustainability” atau “Membangkitkan Kembali Kebudayaan untuk Keberlanjutan Pedesaan”. 

Tapi, menurut Lanying, Indonesia justru memiliki kelebihan pada alam, dan kontur tanah yang dimiliki. Sehingga, pengelolaan warisan budaya takbenda dapat menitikberatkan pada peningkatan potensi alam seperti air, tanah, dan udara yang dimiliki dapat menjadi salah satu alternatif solusi. 

  Direktur Pusat Internasional mengenai Qanat dan Struktur Hidrolik Bersejarah Iran, Semsar Yazdi, menjelaskan ada fakta menarik seputar pengelolaan air antara Iran dengan Indonesia. 

Menurutnya, kedua negara memiliki kearifan lokal yang hampir sama untuk memajukan pembangunan di dunia berkelanjutan. Ia melihat ada kesamaan motivasi untuk mengembangkan pengetahuan kebudayaan untuk meningkatkan pembangunan di dunia yang berkelanjutan.

“Kearifan lokal Subak di Bali bukan sekedar kearifan lokal untuk Indonesia, tapi ternyata terdapat persamaan dengan kearifan lokal pengelolaan air dengan warisan budaya takbenda Qanat di Iran, padahal kedua negara ini terpisahkan 80.000 kilometer jaraknya,” tuturnya yang juga menjadi pembicara dalam Simposium 2 dengan tema “Water for Life: Reconciling Socio Economic Growth and Environmental Ethics” atau “Air untuk Kehidupan: Merekonsiliasi Pertumbuhan Sosio-Ekonomi dan Etika Lingkungan”. 

Qanat merupakan sistem saluran air yang terdiri atas deretan sumur yang tersambung di bawah kanal saluran bawah tanah. Sistem ini terbentuk dari sumur yang terbuka, kemudian saluran terowongan mendatar menghubungkan sumur itu dari jarak tertentu. Sistem ini digunakan untuk mengairi persawahan dan meningkatkan perekonomian di masyarakat pedesaan di Iran.(p/ab)