UU PPKSK Juga Atur Bantuan Hukum Bagi KSSK

By Admin

nusakini.com-- Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), yang anggotanya terdiri atas Menteri Keuangan (Menkeu), Gubernur Bank Indonesia (BI), Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Ketua Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), bertanggungjawab atas keputusan yang diambil dalam Forum Stabilitas Sistem Keuangan (FSSK). 

Sesuai, Undang-Undang (UU) tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem keuangan (PPKSK), di satu sisi, apabila terjadi sesuatu yang mengganggu stabilitas sistem keuangan, sudah ada sistem dan prosedur yang jelas. Di sisi lain, UU ini juga memberikan perlindungan hukum yang jelas kepada pemangku jabatan yang terlibat dalam proses pengambilan keputusan. 

Perlindungan dimaksud berarti bahwa kecuali terdapat unsur penyalahgunaan wewenang, anggota KSSK; sekretaris KSSK; anggota sekretariat KSSK; serta pejabat atau pegawai Kemenkeu, BI, OJK, dan LPS tidak dapat dituntut, baik secara perdata maupun pidana atas pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenang berdasarkan undang-undang tersebut. 

“DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) dan Pemerintah di dalam undang-undang ini sepakat bahwa yang dimandatkan oleh Undang-Undang PPKSK itu adalah perlindungan selama si pengambil keputusan mengambil keputusan sesuai dengan mandatnya, sesuai dengan tupoksi (tugas dan fungsi),” Plt. Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Suahasil Nazara saat memberikan sambutan pada pembukaan hari kedua Sosialisasi UU Nomor 9 Tahun 2016 tentang PPKSK di Aula Djuanda Kementerian Keuangan, Jakarta dua hari lalu. 

Namun demikian, lanjutnya, apabila yang melaksanakan tugas berdasarkan UU tersebut menghadapi tuntutan hukum yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas dan wewenang KSSK, yang bersangkutan akan mendapat bantuan hukum dari lembaga yang diwakilinya atau yang menugaskannya. “Pendampingan atau bantuan hukum (akan diberikan) bagi pejabat yang melaksanakan tugas sesuai dengan kewenangan yang diatur dalam undang-undang ini atau yang diatur dengan undang-undang lain,” terangnya. 

Ia menambahkan, pemerintah dan DPR sebagai penerima mandat yang membentuk UU tersebut telah berusaha sebaik mungkin untuk memitigasi segala risiko yang dapat ditimbulkan dari terjadinya krisis. “Pemerintah dan DPR menyadari bahwa kita tidak mau krisis itu terjadi, kita berusaha sedapat mungkin protokol penanganan itu jangan pernah kita gunakan, tetapi kita perlu mempersiapkan diri,” tutupnya. (p/ab)