Cerpen: Episode Nita dan Sableng

By Admin


Oleh: Swary Utami Dewi

nusakini.com - Seorang teman baikku kemarin menelfon sambil menangis tergugu. Aku tidak ingin menghentikan tangisnya. Diam saja mendengarkan sampai 5 menit berikutnya, di saat kupingku sudah terasa berdenging panas, baru dia bisa berbicara.

“Dia menipuku. Lelaki itu bajingan.” Aku mengerutkan dahi."

“Siapa yang bajingan, Nit?”

Sesaat menyerocoslah dari mulut Nita tentang lelaki yang baru dikenalnya sekitar 6 bulan lalu, yang kemudian menyatakan cinta kepada Nita sebulan lalu. Meski sudah memiliki istri dan dua anak, Sableng, sebut saja nama pria tersebut menyatakan sudah pisah ranjang dari istrinya sekitar dua tahun.

Aku tertahan, tidak mengatakan apapun. Pantas aku lihat dalam sebulan belakangan kulihat ada semu rona merah di pipi perempuan sebayaku ini saat bertemu dia. Nita cukup cantik dan sangat memukau, begitu mempesona. Tapi aku, sebagai sahabatnya, tahu bahwa dia sangat tidak mudah jatuh cinta. Kalaupun Nita balas mencintai Sableng, aku tahu alasannya pasti kuat.

Dan sekarang, Nita sedang menderita, menangis. Baru beberapa hari yang lalu, Sableng menelfonnya menyatakan dia tidak mungkin lagi bersama Nita. Alasannya, bapak angkat Sableng yang sakit keras, yang sudah koma beberapa hari tiba-tiba sadar dan menyatakan sesuatu yang mengagetkan: Sableng harus rujuk kembali dengan sang istri yang menurut pengakuannya telah pisah ranjang dua tahun dan hampir bercerai. “Aku harus mengikuti kemauan keluarga besar. Begitu katanya,” tutur Nita sambil terisak.

Sudah hampir satu jam Nita menumpahkan rasa. Sahabatku ini serasa pecah menjadi buih dalam gelombang kesedihan. Dan aku serasa ada di atas gelombang duka Nita, terombang-ambing antara sedih, iba dan marah kepada lelaki itu.

“Lantas apa yang akan kamu lakukan, say?” tanyaku perlahan.

“Aku tidak ingin melakukan apapun. Aku hanya ingin melepaskan duka dan kekesalan. Aku merasa ditipu, dibohongi dengan cinta. Betapa rapuhnya cinta karena ia bisa berbalik dengan sekejap. Sekarang yang ingin aku lakukan adalah belajar untuk tidak mencintai, tidak juga membencinya. Belajar untuk tidak merasakan apa-apa terhadapnya.”

Aku tersenyum perlahan. Nita tidak melihatku. Tapi dia tahu aku pasti merasakan kebanggaan yang tulus kepadanya. Nita begitu kuat dan, setahuku, sanggup melewati apapun betapapun sulitnya itu.

“Aku ke Jakarta dalam waktu dekat, Nit. Dari Yogya aku langsung ke Jakarta, kemudian ke Sulawesi. Kalau kamu mau gabung berkelana denganku, hayo… aku akan dengan senang hati menerima. Kamarku bisa buat berdua,” jelasku bersemangat.

“He he… lihat uangnya dulu, Tam. Yang jelas kita bertemu dan saling tukar cerita di Jakarta ya. Kita bisa pergi karaoke, makan steik di Abuba, pergi ke pub kesukaan kita, menonton, atau sekedar ngobrol bareng di Sarinah. Apapun itu yang penting aku mau bertukar cerita bersamamu.”

Aku terbahak mendengar begitu bersemangatnya suara Nita kini. Benar, sahabatku ini memang kuat. Dia sanggup dengan cepat mengubah kesedihannya menjadi energi positif yang luar biasa.

“Dan si Sableng bagaimana?” tanyaku iseng.

“Ah, biarkan dia. Dia pantas dikasihani. Aku lebih kuat kok. Lagian masih banyak lelaki di dunia ini yang baik, jujur…”

“Dan belum beristri,” potongku cepat.

Nita terkekeh,” Cinta memang rumit, Tam. Tidak bisa ditebak kapan datang dan tidak bisa ditolak kapan ia ingin pergi. Hanya kemampuan kita menerima dan mengelola semualah yang sanggup menguatkan kita dalam keadaan apapun”.

“Mmh. Tambah bijak ya kamu. Baru saja tadi menangis Bombay,” candaku.

Lagi-lagi Nita terkekeh. “Tam, tahu apa yang kusms ke Sableng yang menurutku pasti membuatnya meradang?”

“Apa itu?” tanyaku penasaran.

“Aku bersyukur tetap menjadi orang baik walaupun telah diperlakukan tidak baik oleh orang yang selama ini kuanggap baik. Karena itu aku tetap menjadi kuat dan terberkahi.”

Aku menghela nafas. “Kamu benar Nit. Dan karena itulah aku bangga punya sahabat sepertimu”.

Banjarbaru, 20 Juni 2009