ASN Netral Di Pilkada 2020, Mungkinkah?

By Abdi Satria


Oleh : M Ridha Rasyid 

Praktisi dan Pemerhati Pemerintahan

Setiap perhelatan pemilu, baik pemilihan presiden maupun kepala daerah, pernyataan yang selalu disampaikan menghimbau (sering dalam makna "meninta") kepada aparatur sipil negara agar mereka netral dalam pelaksanaan sosialisasi ataupun kampanye. Kehadiran secara fisik pegawai  negeri sipil dilarang.

Pertanyaannya kemudian , mungkinkah pegawai negeri bersikap netral --terlepas ada petahana atau tidak,  yang sering berpengaruh dalam perilaku pegawai oleh karena adanya "tekanan". Dalam arti politik semua orang punya hak memilih dan dipilih, kecuali yang diatur khusus undang undang.

Bahwa pegawai negeri adalah person yang bekerja dalam pemerintahan, seyogyanya bersikap tidak memihak terhadap calon pemimpin di pemerintahan adalah sesuatu yang keliru, sebab pns tidak dilarang dalam menentukan pilihan. Betapa anehnya, kalau  hak memilih itu melekat pada pegawai negeri, di saat yang sama, dia tidak diperkenankan mengenali jalan pikiran calon (visi dan misi, program, serta kebijakan)  yang akan memimpin dia, dengan dalih harus netral.

Cara berfikir ambigu  seperti ini, tidak akan pernah menyelesaikan masalah. Pasti selalu muncul kekisruhan. Tidak ada ketegasan. Meski di sadari bahwa sikap netral itu penting bagi pegawai negeri sipil dengan alasan pertama,  pegawai negeri yang berfungsi sebagai penyelenggara pemerintahan yang a politik, tidak berpolitik praktis, karena adanya kekhawatiran bahwa akan ada mobilitas pegawai dalam memberi dukungan kepada satu calon, sementara calon lainnya tidak mendapat apa apa.

Padahal menurut mereka, pegawai negeri itu dibiayai oleh rakyat lewat pajak yang dipungut, bukan perorangan yang mengendalikan pegawai negeri, kedua, bahkan agar tidak terjadi penyalahgunaan kewenangan oleh pegawai negeri yang mendukung salah satu calon, ketiga, penggunaan fasilitas pemerintah kepada golongan tertentu, keempat, data dan anggaran diberikan kepada hanya calon yang mereka dukung.

Dari alasan alasan tersebut, kemudian aparatur sipil negara diharapkan bisa bersikap netral. Tetapi  lagi lagi itu tidak berjalan efektif karena bukan bersifat larangan tegas. Mengapa? Jikalau ingin pegawai negeri sipil itu netral, karena merupakan bagian dari penyelenggara negara, mestinya tidak punya hak memilih,  seperti  tentara dan polisi.

Alasan mengapa TNI dan Polri itu tidak punya hak memilih dan dipilih selama masih aktif dalam kedinasan, selain punya senjata, juga sikap kuat dan tegas ditunjukkan bahwa alat keamanan negara tidak boleh punya hak pilih, memilih dan dipilih. Hal yang sama seharusnya diberlakukan pegawai negeri-- walau mereka tidak punya senjata, tetapi kewenangan yang dipunyai pegawai lebih dari itu, yakni kewenangan, authority.  

Posisi Pegawai dalam Politik 

Regulasi  netralitas pegawai negeri sipil  telah banyak diatur dalam perundang undangan. Mulai dari PP No 6 Tahun 1999 dan telah mengalami beberapa kali perubahan dan turunannya, terakhir dengan UU No 5 Tahun 2014 tentang  Aparatur Sipil Negara  dan sejumlah  peraturan pelaksanaan yang mengikuti, semuanya  hanya "himbauan"  bersikap netral, meski dalam PP 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil  mengatur sanksi apabila melanggar, tetapi itu tidak efektif, dan tidak seharusnya diatur. Korelasi politik dan pemerintahan sesuatu yang tidak bisa dipisahkan.

Pemerintahan itu bisa langgeng atas dasar sebuah proses politik. Oleh sebab lembaga legislatif sebagai mitra sejajar institusi eksekutif, adalah lembaga politik. Tidak ada keputusan pemerintah yang boleh diberlakukan tanpa persetujuan bersama. Kedudukan wakil rakyat itu disatu pihak dia bagian dari pemerintahan, dipihak lain pegawai negeri sipil sebagai penyelenggara  pemerintahan, juga punya hak yang sama -- dengan ketentuan mundur setelah resmi menjadi calon.

Maka, posisi pegawai negeri sipil tidak akan pernah bisa netral secara utuh. Pasti ada intrik dan cara yang mereka lakukan untuk mendukung calon dan memilih calonnya. Lalu, bagaimana selayaknya sikap pegawai negeri agar bisa netral, pertama, kalau hak memilih itu tetap masih melekat, bisa  dilakukan upaya berjenjang oleh bawaslu dalam memonitoring aktifitas pegawai selama jam dinas, penggunaan pakaian uniform, kedua, harus dibuat aturan yang tegas dengan sanksi berat dalam penindakan administratif, termasuk pemecatan dan denda, ketiga,  adanya lembaga pengawas pegawai negeri yang independen. Bukan dilakukan oleh aparatur  sipil negara  seperti  sekarang ini, inspektorat. Aneh, kalau pegawai negeri diawasi oleh pegawai juga, orang pasti mengatakan jeruk makan jeruk.  

Posisi Pegawai negeri sipil menjadi penting bagi partai politik dan calon kepala pemerintahan  antara lain di sebabkan, pertama, dari sisi jumlah pegawai cukup banyak, di tambah dengan keluarga mereka. Ambil contoh, pegawai negeri sipil yang berjumlah lebih dari empat juta orang, ditambahkan dengan keluarga yang mereka tanggung, paling banyak 3 orang plus istri, maka itu bisa menjadi lebih dari dua puluh juta orang.

Kalau di jumlah dengan keluarga mereka,  hitunglah 5 orang saja, maka jumlah nya sudah lebih dari  seratus juta jiwa. Kapital pemilih yang sangat luar biasa jumlah nya, kedua, dengan posisi pegawai negeri yang menguasai sejumlah fasilitas pemerintah  tentu akan menggiurkan para calon kepala daerah untuk melakukan pendekatan intensif, ketiga, konsolidasi ketika calon itu terpilih akan lebih mudah dilakukan. 

Sisi negatifnya 

Terkadang kita mendengar ucapan yang bunyinya seperti ini 'kasihan dia, dia korban politik. Calon yang didukungnya  tidak terpilih, makanya non job', dan banyak lagi ungkapan yang nyaris sama. Politik model sekarang, selalu "memakan" korban, baik dalam proses maupun hasil. Betapa politik itu penting diperjuangkan,  penting di rengkuh, walau  harus berkorban. Itu konsekuensi  sebuah cita, asa, agar mencapai tujuan. Muara proses politik adalah kekuasaan pada semua tingkatan. Bahkan mulai pemilihan ketua rt hingga presiden.

Itulah demokrasi yang berlaku universal. Maka, kalau tidak  mau jadi korban, janganlah berpolitik, sebaliknya bila ingin mendapat nilai lebih dari sekarang, masuklah politik. Berpolitik adalah panglima. Dan panglima yang paling hebat jika dapat menyandingkan politik sebagai panglima, ekonomi,  wakil panglima dan hukum sebagai kepala staf, itulah pemisalan bagi suatu negara yang ingin  maju. Suatu daerah yang ingin lebih baik. Itu adalah keniscayaan zaman.

Kesimpulan

Netralitas aparatur sipil negara hanya dapat terwujud manakala hak memilih itu dicabut. Dan itu tidak melanggar hak azasi manusia yang universal. Memilih  itu  adalah hak  perorangan, individu  bukan umum. Penyelenggaraan demokrasi yang berkeadilan seyogyanya terlepas dari semua unsur kepentingan aparatur, baik sipil maupun militer.

Tetapi  jikalaulah hak itu tetap dipertahankan dalam regulasi yang ada, maka jangan berfikir bahwa aparatur akan bisa netral secara individual -- di tengah pengawasan yang amat lemah, tergantung laporan dan bukti yang jelas. Atau, sekalian bebaskan pegawai negeri berpolitik dalam batas yang wajar  oleh suatu peraturan perundang undangan. Maka, kegalauan sebagian pihak yang tidak mendapat dukungan dari aparatur sipil  negara dapat diminimalisir. Agar semuanya berjalan sesuai selera asn dan para calon dan partai pengusung dalam menarik animo pegawai negeri mendukungnya. 

Wallahu 'alam  bisshawab