Catatan M. Nigara: Soal Naturalisasi, Mohon Maaf, Saya Keliru

By Abdi Satria


HAMPIR dua minggu ini saya tidak tenang. Kok bisa melakukan kekeliruan yang sangat _elementer_? Bukan ingin membela diri, siapa pun bisa keliru, apalagi saya. Sekali lagi saya mohon dimaafkan.

Masih ingat tulisan saya, (19/8) "Suntikan Harapan dari Naturalisasi Ujug-ujug?" Dalam tulisan itu saya telah mengabaikan Statuta FIFA terkait FIFA  Eligibility Rules di pasal 7. Para pemain-pemain itu tidak memenuhi satu pun dari empat syarat berikut: 

1. Pemain lahir di negara bersangkutan. 2. Salah satu orang tua kandung pemain lahir di negara tersebut. 3. Kakek atau nenek sang pemain lahir di negara tersebut. 4. Pemain telah menetap di negara tersebut selama lima tahun, terhitung saat usianya mencapai 18 tahun.

Sekali lagi, ini bukan pembelaan diri, saya memang keliru dengan tidak mencermati pasal 7 Statuta FIFA, saya awalnya hanya ingin timnas kita bisa bersaing. Maklum, jika kita melihat fakta teknis yang ada, timnas kita seperti diakui banyak pihak, belum bisa bersaing di tingkat dunia. Ini jika kita ingin jujur melihatnya.

Jadi dengan semangat itu saya bersemangat menulis. Sekali lagi, ini bukan pembelaan diri. Mari kita tengok stok pemain muda kita yang ada. Jumlah pemain sangat terbatas, dan skill pemain muda kita masih setara ASEAN. Itu pun belum menjadi yang terbaik. Artinya prestasi yang kita capai masih terlalu sedikit dibanding kegagalannya.

Mengapa itu bisa terjadi? Diakui atau tidak, itu adalah cerminan kegagalan kita dalam melakukan pembinaan. Lebih dari 90 persen pemain-pemain muda kita yang saat ini bisa jadi pemain bagus, bukan by design tapi pada  accident. Artinya bakat sipemain memang sangat luar biasa.

Talenta itu memang penting, tapi jika kita memiliki grand design sepakbola yang dilengkapi sport science, maka situasi akan berbeda. Artinya lagi, meski nilai skill nya di bawah angka tujuh, ini hanya contoh, si pemain muda tetap bisa dikembangkan secara maksimal melalui teknologi ke-ilmuan. Semua bisa dikaji dengan dasar sport science itu, tidak berdasarkan pengalaman.

Coba deh kita keliling, tengok Sekolah-Sekolah Bola (SSB). Apakah pola yang dugunakan para pelatih sudah berdasarkan ke-ilmuan modern, atau? Saya mengapresiasi mereka para pelatih SSB meski masih berdasarkan pengalamannya sebagai mantan pemain, mereka mau berjibaku. Padahal harusnya para pelatih di SSB itu dibekali sertifikat A-pro, ditambah keilmuan olahraga modern. Ini salah satu contoh saja bentuk ketidakseriusan kita dalam menjalani pembinaan. Kalau di garda terdepan itu kita menerapkan pola persiapan yang benar, bukan tidak mungkin kita memiliki banyak stock calon-calon pemain hebat. Dan, jika itu sudah berjalan, maka presiden tidak perlu mengeluarkan Inpres no.3 tahun 2019.

Naturalisasi

Dari posisi itu, saya jadi bersemangat mendukung lima pemain muda Brazil itu untuk dinaturalisasikan. Bahwa akhirnya saya keliru, sekali lagi saya mohon maaf.

Saya tidak ingin menuding siapa pun, toh kesalahan adalah sifat manusia. Catatan, saya sesungguhnya paham kisah di balik itu. Tapi biar itu menjadi pelajaran bagi saya. Meski begitu, tujuan sesungguhnya sangat baik. Saya makin paham yang baik belum tentu benar, dan yang benar jika disampaikan dengan cara yang kasar, pasti akhirnya juga tidak benar.

Kisah ini juga sekaligus memperlihatkan bahwa senioritas bukanlah jaminan. Kedepan, saya harus lebih berhati-hati. Apalagi menulis tentang sepakbola. Ya, sepakbola memang memiliki daya tarik yang sangat luar biasa. Begitu luar biasanya hingga siapapun merasa paling tahu, paling berhak, dan paling benar. Jika ada yang berseberang, nafsu menghakimi menjadi jalannya.

Kembali ke soal naturalisasi. Saya tidak ingin mendebat mereka yang kontra, dan saya juga tidak hendak memihak mereka yang pro. Saya hanya ingin mengatakan bahwa naturalisasi itu bukan barang haram jika kita tidak ingin menyebut sangat dibutuhkan.

Siapa yang mau menyangkal bahwa Italia dan Jerman (dulu ada Baratnya), Perancis, Spanyol, dan Inggris adalah negara sepakbola. Jerman dan Italia masing-masing sudah empat kali menjadi juara dunia. Perancis dua kali, serta Spanyol dan Inggris masing-masing satu kali.

Kecuali Spanyol, negara-negara sepakbola itu sejak lama menggunakan dan mengandalkan pemain naturalisasi. Bahwa para pemain naturalisasinya ada yang lahir di negara-negara itu, dan ada juga yang sudah bermain lima tahun di liga-liga setempat, ada juga yang datang di usia 10-15 tahun, itu soal lain. Saya hanta ingin mengatakan, mereka tidak alergi pada posisi naturalisasi. Kenapa kita seperti anti pada langkah naturalisasi?

Dan, naturalisasi bukan alat membunuh bagi talenta-talenta kita. Naturalisasi juga bukan alat penghapus nasionalisme. Contoh negara yang saya sebut di atas tidak kehabisan pemain lokal meski banyak pemain naturalisasinya.

Sekedar mengingatkan, dalam sektor lain kita tidak ragu menggunakan tenaga-tenaga asing, teknologi-teknologi asing, budaya-budaya asing, lha kok di sepakbola begitu naturalisasi muncul, seperti haram?

Sekali lagi, saya tidak hendak mendebat mereka yang kontra naturalusasi. Jika memang kita bisa seperti Brazil, Argentina, dan Spanyol, tentu rasa bangga kita akan berlipat. Seluruh pemain mereka murni anak-anak bangsa. Tapi jika (ini fakta) pemain-pemain muda kita sangat terbatas jumlah dan kemampuannya, kenapa tidak kita lakukan jalan lain. Sepakbola sama dengan cabor lain, prestasi itu bisa dicapai melalui proses tidak mungkin instan. Jadi, jika memang modal kita belum mumpuni, jangankan seorang Shin Tae-yong, seribu pelatih berkelas dunia juga tidak mungkin bisa menyulap prestasi itu.

Naturalisasi dimaksud hanya jalan pintas hingga kelak kita memiliki cara pembinaan yang benar. Dan naturalisasi ini bukan tujuan tetapi hanya sasaran antara, sekali lagi sampai kita memiliki pola dan cara pembinaan yang benar. Meski, maaf, Jerman, Italua, Inggris, Prancis, tetap juga melakukan naturalisasi.

Memang jauh lebih baik jika yang kita 'naturalisasi' itu adalah para pemain yang separuh Indonesia. Tahun 2009, saya, Bung Yesayas (Kompas), Reva Dedi Utama (antv/tvone), Erwiyantoro, ditugaskan oleh PSSI secara informal ke Belanda untuk mencari data pemain-pemain separuh Indonesia untuk dinaturalisasikan. Sayang hasil dari kajiannya tidak dimanfaatkan.

Sebagai penutup, masih ingat Ivana Lee dan Verawati Fajrin? Untuk generasi milenia, keduanya adalah para legenda bulutangkis Indonesia yang reputasinya diakui dunia. ( _Maaf bukan hanya legenda tanpa mahkota resmi )

Tahukah kita saat keduanya membela Indonesia di Uber cup, all-England, Sea-Games, Kejuaraan Dunia, atau event-event lainnya, keduanya belum menjadi warga negara Indonesia? Padahal keduanya lahir dan besar di Indonesia. Toh keduanya tak ragu berjuang untuk Indonesia. Dan, kita bangga pada kesuksesan keduanya.

Semoga bermanfaat..

M. Nigara

Wartawan Sepakbola Senior