Catatan M. Ridha Rasyid: Oligarki

By Abdi Satria


SAAT tulisan ini anda baca, 50 hari lagi Donald Trump, Presiden Amerika Serikat resmi lengser. Pelantikan Joe Biden sebagai Presiden akan berlangsung pada 20 Januari 2021. Persis empat tahun Donald Trump  berkuasa. Dengan segala sepak terjangnya, mulai saat dia berkampanye hingga terpilih menjadi Presiden ada beberapa catatan menarik, pertama, dia adalah kandidat presiden sepanjang sejarah 200 tahun lebih kemerdekaan  Amerika Serikat 1776 paling "brutal" dalam menarasikan pikirannya, kedua, dia bisa mengangkat dan memecat bawahannya hanya melalui media sosial  twitter pribadinya, ketiga, dia satu satunya presiden Amerika Serikat paling membenci presiden sebelumnya. Barack Obama, sehingga apapun yang berbau Barack Obama dienyahkannya,  kecuali asuransi kesehatan ala Obama yang hingga kini tidak mampu dia  "bumi hanguskan", keempat, dialah pemimpin di tengah pluralisme yang tumbuh di negara adidaya ini yang membangkitkan kembali permusuhan nyata dengan kaum minoritas, kelima, dia menarik peran negaranya pada sejumlah organisasi dan perjanjian internasional yang sebagian besar justru digagas oleh pendahulu pendahulunya. Catatan ini yang kemudian menumbuhkan rasa kebencian mendalam sebagian besar rakyat disana. Ini dibuktikan dengan hasil pemilu baru lalu, di mana dia hanya meraih 232 electoral  vote, bandingkan dengan raihan Joe Biden  306. 

Selain sisi negatif selama kepemimpinan, dia juga meraih prestasi gemilang, di mana hanya Donald Trump yang bisa memperlihatkan kinerja ekonomi yang mumpuni, dengan tingkat pertumbuhan ekonomi secara rata rata dalam empat tahun di atas 2%. Juga berani melawan dominasi China yang mewarnai impor negara yang dijuluki  adikuasa ini. 

Kalaulah kita dapat menarik kebelakang untuk menjelaskan secara sekilas bagaimana Donald Trump menjadi contoh yang memimpin pemerintahan oligarki.

Ditengah kampanye presiden di akhir tahun 2016, Anne Applebaum, seorang jurnalis pemenang Pulitzer Prize dan kolumnis untuk Huffington Post, menulis bahwa Trump tidak hanya bersimpati dengan oligarki Rusia, namun dia adalah bagian dari oligarki tersebut. Yang mendukung pernyataan ini adalah terbongkarnya konspirasi Rusia yang mencampuri pemilihan umum AS saat manajer kampanye Trump, Paul Manafort, ditemukan berhubungan finansial dekat dengan oligarki-oligarki Rusia. Setelah dilantik menjadi presiden pun Trump berlanjut untuk menempatkan keluarganya di posisi penting pemerintahan. Praktek nepotisme ini dapat dilihat ketika Ivanka Trump sah menjadi Advisor to the President atau Penasehat Khusus Presiden dan suaminya, Jared Kushner, dijadikan sebagai Senior Advisor atau Penasihat Senior Presiden Amerika Serikat. Ditambah lagi dengan kasus penghindaran pajaknya, Trump memenuhi

kedua definisi asli dan kontemporer oligarki Aristoteles dan Profesor Jeffrey Winters. Tapi apakah definisi dari Oligarki tersebut? 

Oligarki adalah sebuah struktur pemerintahan dimana kekuasaan berpusat hanya pada sekelompok orang. Seringkali golongan ini mengendalikan kekuasaan

esuai dengan kepentingan mereka sendiri. Menurut Aristoteles, oligarki, yang makna literalnya dapat diterjemahkan menjadi ‘kekuasaan oleh segelintir orang,’ merupakan manifestasi pemerintahan yang buruk. Oleh karena sifatnya yang elitis dan eksklusif, terlebih lagi biasanya beranggotakan kaum kaya dan dominasi partai politik di lingkaran kekuasaan, oligarki tidak memperhatikan kebutuhan masyarakat luas. 

Oligarki tidak dapat disamakan dengan aristokrasi yang dapat dianggap sebagai pemerintahan oleh golongan kecil yang benar. Yang berkuasa dalam pemerintahan aristokrasi adalah kaum bangsawan yang berparitisipasi di parlemen beserta dengan raja dan ratu yang dipercayai sebagai pemimpin oleh karena garis keturunannya. Walau memang aristokrasi juga dikendalikan oleh kelompok kecil orang, perbedaannya dengan oligarki dapat dilihat dari komitmen aristokrat untuk tidak menyalahgunakan wewenangnya dan memastikan bahwa rakyatnya hidup sejahtera. Namun, aristokrasi juga dapat berubah menjadi oligarki apabila dipengaruhi oleh kelompok elitis bangsawan seperti penasehat-penasehat tinggi suatu kerajaan. Yang pasti oligarki dalam persepektif demokrasi modern, sejatinya justru bertentangan. Tetapi, celakanya negara yang mengedepankan serta menerapkan demokrasi, pun di dalamnya di warnai praktek oligarki ini. Biasanya, oligarki itu dimulai dari "perkoncoan" politik maupun bisnis, sehingga ketika kekuasaan ini sudah "terbeli" sekelompok kecil orang yang punya monopoli keuangan, praktek transaksional-lah yang menjadi cikal bakal tumbuh berkembangnya oligarki itu. Dan, dalam kepemimpinan Donald Trump itu, Amerika Serikat mengalami degradasi sosial yang sangat dalam. Di mana tindakan kekerasan dan rasialisme diantara warga negara maupun institusi dalam hal terbatas, juga ikut mengintimidasi kelompok imigran, pendatang dan perbedaan warna kulit. Oligarki tidak selalu di makna dari aspek ekonomi, bisnis dan keuangan, politik, juga dari segmen sosial,  oligarki juga memainkan peran  untuk menstimulasi terjadinya abuse social power, di mana golongan minoritas disulut  untuk melakukan kekerasan akibat adanya pemicu dari kaum mayoritas yang kemudian kelompok kecil ini dinyatakan bersalah. Dan itulah yang terjadi di masa kepemimpinan pemerintahan Donald Trump. Media di sana mencatat sejumlah kekerasan sosial akibat tindakan pihak yang menguasai akses ekonomi dan institusi kekuasaan untuk melakukan tindakan sewenang wenang. Oligarki hanya bisa berakhir kala tumbuh suatu proses demokratisasi sejak dini di suatu negara. Oligarki hanya bisa berakhir ketika patriotisme dan nasionalisme menjadi bingkai kekuasaan, bukan "permainan kekuasaan seperti yang dilakonkan Donald Trump yang memang seorang entrepreneur  yang kebetulan punya nasib jadi presiden. 


Praktisi dan Pemerhati Pemerintahan