Debat Kandidat

By Abdi Satria


Oleh  : M Ridha Rasyid

Praktisi dan Pemerhati Pemerintahan


Saya teringat ketika kelas 2 SMA tahun 1982, ada pelajaran Pendidikan Moral Pancasila kini disebut Pendidikan Pancaila dan  Kewarganegaraan, oleh gurunya kita diberikan topik untuk kita diskusikan. Dalam diskusi itu terjadi debat ketika ada statement ataupun penjelasan yang kurang berkenan dengan apa yang kita pahami. Seru. Bahkan terkadang terjadi perseteruan ilmiah tetapi tetap dalam koridor kesantunan. Gurunya tidak hanya memantau isi yang diperdebatkan tetapi kemampuan dan keberanian kita untuk mengemukakan pendapat yang justru punya nilai tinggi. Suasana dan pengalaman itu, menjadi bekal yang sangat baik dan berharga di kemudian hari. 

Debat Di Luar Sana 

Dikutip dari Constitutioncenter, debat capres antara Nixon dan Kennedy disaksikan oleh 70 juta orang Amerika, dan berhasil menjadikan agenda politik layanan tontonan favorit. 

Melalui debat itu pula, muncul lebih banyak pemilih potensial, yang lebih dulu mendapat kesempatan melihat calon presiden, menilai seberapa cocok mereka sebagai pemimpin negara. 

Biasanya debat capres Amerika lebih sering dilakukan secara tertutup, dan jika tampil di televisi, lebih kepada pembahasan profil per kandidat. Agenda di tahun 1960 mengubah praktik pemilu hingga sekarang. 

Kala itu, Nixon adalah kandidat favorit untuk memenangkan pemilu. Sebelumnya, ia telah menjabat sebagai wakil bagi Presiden Dwight Eisenhower selama delapan tahun. 

Nixon mulai menjadi politikus idola ketika membacakan pidato berjudul “Checkers” di televisi pada 1952, dimana ia berupaya menyanggah tuduhan skandal Watergate, dan mengamankan slot wakil presidennya dengan berbicara tentang anjing peliharaannya. 

Sedangkan Kennedy merupakan senator muda yang dikenal enerjik. Ia memiliki pengalaman berdebat di tingkat nasional, melawan wakil presiden sebelum Nixon, Hubert Humphrey, yang dinilai mampu membawa diri dengan cerdas. 

Jauh sebelum itu, debat di kalangan kampus di Inggris dan Amerika Serikat sudah menjadi suatu kebutuhan bagi mahasiswa  dalam upaya mengelaborasi pengetahuan dan kemampuan berbahasa. Bekal seorang orator yang handal di mulai dari seringnya mengikuti debat.  Hatta, wakil presiden pertama, kala kuliah di Belanda, sering mengikuti perdebatan di kampus ataupun yang di adakan perhimpunan mahasiswa Indonesia, juga Soekarno, Presiden pertama, dikenal sebagai orator yang ulung. Dia mampu menyemangati ribuan orang ketika dia berpidato.

Orang bersorak gegap gempita ketika dia menjelaskan kepada rakyat akan pentingnya kebebasan, kemerdekaan. Termasuk kemerdekaan berfikir untuk membangun bangsa. Di Yugoslavia, Yosep Bros Tito, seorang mahasiswa yang sangat lihai dalam berdebat yang kemudian menghantarkannya menjadi Presiden di negaranya. Pembentukan negara negara Non Blok dimotori Sukarno dan juga Yosep Bros Tito dan Nehru dari India. Ketiga nya berpidato di Bandung dengan sangat memukau. Luar biasa. 

Berbeda di Inggris, juga Jerman, debat kandidat itu dilakukan di hadapan parlemen tetapi di tingkat Menteri. Perdana Menteri dan Kanselir  yang terpilih dalam pemilu tidak melalui proses debat, tetapi kemenangan yang diperoleh dari   hasil pemilu mengukuhkannya  menjadi kepala pemerintahan 

Debat Kandidat 

Di  negeri kita,  debat baru dilakukan pada pemilu presiden 2014 dan disiarkan melalui televisi, itu pun sejatinya bukanlah debat. Tetapi hanya penyampaian visi, misi dan program. Bukan saling mengunggulkan program yang diuji melalui suatu diskusi yang intens. Justru biasanya diarahkan oleh para pakar yang bertindak sebagai panelis. Bukan suatu debat  yang melihat sisi kelebihan dan kekurangan program dan kebijakan yang akan ditempuh bila nanti terpilih. Kesannya monoton serta  tidak signifikan mempengaruhi opini publik.

Berbeda halnya debat Presiden di Amerika Serikat. Terlebih lagi pada debat saat Donald Trump versus Hillary Clinton dan debat beberapa hari lalu di sana, antara Joe Biden  dengan Donald Trump. Hampir tanpa batas etika. Dan dari debat yang ditonton puluhan juta  orang itu, memberi pengaruh besar kepada konstituen untuk menentukan pilihannya. 

Kalau debat kandidat yang kita laksanakan itu baru pada tataran seremoni untuk memenuhi ketentuan aturan yang ada, dan kurang menarik. Selain memang, kualitas materi juga kemampuan dari kandidat yang "malu malu" untuk memperlihatkan ketajaman berfikir dan latar belakang penyusunan bahan yang diperdebatkan.

Kalaulah tidak bisa dikatakan bahwa selain debat itu belum menjadi suatu kebiasaan,juga kita diikat ideologi yang sangat menjaga peradaban dan kesopanan. Meskipun sejatinya debat itu tujuannya  bukan saling menjatuhkan  juga tidak  untuk menjadi ajang penghinaan verbal kepada kandidat lain. Muara dari suatu debat ada dua, pertama untuk mengetahui kemampuan kandidat dalam menguasai materi  visi, misi, program dan kebijakan yang direncanakan dilaksanakan ketika dia terpilih, kedua, untuk mengetahui karakteristik serta kendali diri sebagai seorang pemimpin.

Kalaupun dari penampilan dihadapan publik itu cukup mempengaruhi pilihan konstituen  itu merupakan bonus dari sebuah kerja kerja politik yang telah diperlihatkan kepada publik. Intinya, debat adalah sarana dan wadah eksplorasi diri dan membuat ekspektasi konstituen terhadap kepemimpinan kira kelak. 

Wallahu 'alam bisshawab