H-2 Pilkada 2020

By Abdi Satria


Oleh : M. Ridha Rasyid

Melelahkan, itu pasti. Membosankan juga ada.  Betapa tidak, waktu yang cukup lama melakukan sosialisasi hingga kampanye. Kerja kerja politik itu, paling tidak membutuhkan waktu lebih dari setahun. Mulai dari pendekatan kepada partai politik yang bakal mengusung hingga social investment  adalah keniscayaan bagi para peminat kekuasaan lokal yang namanya pemilihan kepala daerah. Dan semua itu membutuhkan dana. Hanya dengan modal popularitas, kecerdasan belumlah cukup. Oleh karena demokrasi yang diperkenalkan di negeri ini dimulai dengan pendekatan pragmatis berupa finance,  uang. Apakah itu salah? Bukan persoalan salah atau bukan. Cost politic itu nyaris tidak bisa dipisahkan dengan yang namanya pemilihan untuk merengkuh kemenangan. Berbeda, dengan pertandingan olahraga, yang harus dilalui dengan sejumlah pertandingan dengan banyak pemain dan klub yang ikut serta. Apatahlagi pertandingan berskala dunia. Selain teknik, skill, juga kekuatan dan kebugaran fisik menentukan. Dalam tarung politik, mungkin ada hal yang sama, yakni muaranya kemenangan, namun untuk sampai pada puncak  itu, bukan fisik yang utama, tapi intrik dan strategi serta perang urat saraf. Kalau nyalinya kecil, pasti dia akan kalah lebih awal. 

Untuk pemilihan kepala daerah 2020  ini diikuti lebih dari setengah jumlah daerah kabupaten kota di Indonesia. 

Total daerah yang akan melaksanakan pemilihan kepala daerah serentak tahun 2020 sebanyak 270 daerah dengan rincian 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota. Jumlah calon yang lolos 382 calon. Ada kurang lebih 25 pasangan calon yang melawan kota kosong. Lebih khusus lagi di tengah pandemi dunia corona virus disease ini, membuat mereka semakin berat mengatur cara berkampanye yang tidak  menyalahi protokol kesehatan. Dari catatan badan pengawasan pemilu menunjukkan bahwa ada lebih dari seribu sosialisasi maupun kampanye yang dilakukan melanggar prokes  Covid19,  Belum lagi pelanggaran pidana pemilu yang terjadi pada 126calon atau  pasangan  calon , baik yang diselesaikan oleh bawaslu ataupun Gakumdu. Dan pelanggaran netralitas  ASN menimpa 421 pegawai negeri sipil. Ini lah fakta yang mewarnai perjalanan pilkada hingga jelang dua hari pencoblosan. 

Fenomena Kampanye 

Kulminasi dari deretan kampanye yang dilakukan oleh pasangan calon itu terlihat sekaligus teruji dalam Debat  Publik. Baik yang dilakukan melalui Televisi yang disiarkan secara nasional, maupun debat kandidat yang dilakukan melalui televisi lokal di daerah. Performance para calon itu dapat dinilai oleh konstituen. Ada yang terpengaruh dengan cara mereka memaparkan visi, misi, program dan kebijakan yang akan ditempuh kalau mereka terpilih, ada juga oleh karena terlanjur fanatik pada calonnya, sama sekali tidak menggubris kegiatan ini. Walaupun calonnya itu nampak tidak menguasai visi dan misi-nya ( karena memang di buat oleh tim-nya) tetapi mereka terlanjur menjatuhkan pilihannya pada mereka, sehingga apapun kata pengamat atau bahkan penguji yang terlibat dalam debat itu, sama sekali "ngga ngaruh", katanya. 

Bahwa dalam setiap kampanye, tentu saja ada yang negatif, ada yang sekedar caci maki, ada yang sengaja mencari borok lawannya. Yang jelas, apapun caranya untuk menjatuhkan kredibilitas calon lainnya, mereka pasti akan lakukan. Ini tidak hanya terjadi pada pilkada, juga pada pemilu legislatif yang lalu, termasuk pemilihan presiden. Itu gambaran yang hampir mewarnai setiap perhelatan pemilihan dalam jabatan publik, khususnya di pemerintahan. Tidak di Indonesia,  namun juga terjadi di sejumlah negara di seantero bumi. Ini fenomena dalam penerapan demokrasi yang katanya universal tetapi lebih banyak dipengaruhi oleh karakter daerah dan personal. Apakah Demokrasi nya yang salah, bukan. Denokrasi itu adalah sistem. Sistem itu dijalankan oleh orang. Orang yang tidak patuh pada sistem. Sistem itu adalah panduan, sistem itu merupakan pijakan agar apa yang seharusnya dilakukan atau sebaliknya. Sebuah sistem yang baik, biasanya dilandasi sejumlah syarat untuk bisa diaplikasikan. Dalam demokrasi paling tidak harus memenuhi unsur unsur seperti, kemapanan ekonomi, pendidikan, penegakan hukum, kebebasan berpendapat dan peran media yang secara terbuka mendapatkan informasi dan menyebarkan informasi itu sesuai fakta dan data. 

Sejatinya, kampanye itu sebagai ajang memformulasikan gagasan dan ide kreatif kepada masyarakat atas apa yang akan dilakukan untuk memberikan sejumlah alternatif solusi atas pelbagai permasalahan yang dihadapi. Dengan narasi yang mudah dimengerti baik yang melakukan kampanye maupun rakyat sebagai pemilik kedaulatan. Tetapi apa lacur yang terlihat, kampanye hanya dimanfaatkan sebagai kesempatan untuk menyerang lawan, mengumbar janji yang tidak jelas bagaimana cara untuk mengerjakannya yang dibarengi dengan sejumlah data yang mendukung hal itu, serta bagi bagi bagi fulus. Tidak lebih. 

Walaupun tidak semua melakukan itu, ada juga calon atau pasangan calon yang dengan bahasa santun dan narasi yang bagus bisa menguraikan jalan pikirannya serta meyakinkan calon pemilihnya untuk tidak mudah dipengaruhi rayuan berupa uang sesaat dan dalam jumlah kecil. Ini hanya mungkin ada sekitar 10% dari beberapa catatan hasil survey dan amatan media yang menilai seperti itu. 

Menerima Hasil 

Pada akhirnya setiap pemilihan atau pertandingan, pasti hanya ada satu pemenang pertama. Runner up dan seterusnya itulah hasil yang mampu dicapai. Dan berakhir hanya sampai di situ. Bahwa ada upaya hukum yang bisa dilakukan, ada persyaratan yang harus dipenuhi. Karena hanya ada satu perkara hukum pasca pencoblosan. Yaitu, sengketa hasil. Di mana ketentuannya kalau selisih  hasil itu di bawah 0,5% dan memenuhi anasir kumulatif  Terstruktur,  Sistematis, Massif (TSM). Kalau hanya  salah satu  saja yang terpenuhi, lebih baik mundur dan kendalikan diri serta dananya untuk menggugat. Karena pasti kalah. Artinya, hakim konstitusi yang menangani perkara pilkada ini akan menolak secara keseluruhan. Itu sudah yang pasti terjadi. 

Jargon siap memang, siap kalah, haruslah diterapkan dan diterima oleh para pihak. Yang menang tidak boleh sesumbar, yang kalah pun menerima dengan lapang dada bahwa inilah "takdir  yang wajib diterima. Kesempatan masih ada untuk menguji kembali melalui pemilihan berikutnya. 

Sikap arif dan kenegarawanan menjadi sesudah yang penting dimiliki oleh para calon. Karakteristik kepemimpinan yang dipunyai oleh setiap calon, baik menang maupun kalah, selanjutnya dinilai oleh masyarakat, apakah calon itu adalah pemimpin sejati ataukah  pemimpin karbitan. Yang pasti, yang menang akan melalui sejumlah "sandiwara" berikutnya yang harus diseknariokan  bagaimana ia bisa mewujudkan janji janjinya selama sosialisasi dan kampanye, serta bagaimana ia berusaha "mengelabui" konstituennya bila saja tidak mampu membuktikannya dengan berbagai dalih pembenaran. Oleh karena itu, mereka yang hanya "membual" kemudian oleh karena faktor "kecelakaan" sejarah ia terpilih, maka yakinlah orang itu tidak akan pernah lagi mendapatkan kepercayaan rakyat. Politik itu sesungguhnya baik dan luhur. Sebaliknya, politik itu akan "membunuh kalau saja kita tidak mampu menunjukkan kepada rakyat akan apa yang bisa kita lakukan untuk melayani rakyat, mensejahterakan mereka, memenuhi kebutuhan dan kepentingan rakyat. Sejatinya itulah esensi denokras. 


Penulis Adalah Praktisi dan Pemerhati Pemerintahan.