nusakini.com - Bitung - Sektor perikanan masih menjadi penyumbang terbesar Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kota Bitung pada tahun 2016, yaitu sebesar 17,86%. Data ini merupakan laporan Badan Pusat Statistik (BPS) ‘PDRB Kota Bitung 2012-2016 Menurut Lapangan Usaha’, yang disampaikan dalam rangkaian kunjungan kerja Komisi IV DPR bersama Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) di Kota Bitung, Sulawesi Utara, Selasa (26/9/2017).

Sektor perikanan Kota Bitung di tahun 2016 tumbuh perlahan sebesar 2,93%, mulai pulih setelah tahun sebelumnya mengalami penurunan sebesar 5,48%. Pertumbuhan ini juga dibarengi dengan meningkatnya hasil tangkapan nelayan. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan KKP mulai menunjukkan hasil yang baik.

Hal ini sesuai dengan pernyataan Walikota Bitung Max Lomban. “Tidak semua kebijakan KKP itu salah, karena tangkapan nelayan kecil meningkat dua sampai tiga kali lipat,” ungkapnya.

Namun sayangnya, beberapa waktu belakangan terjadi kekurangan bahan baku di pabrik pengolahan ikan Kota Bitung. Padahal, hasil tangkapan nelayan jauh meningkat dan cukup untuk memenuhi pasokan bahan baku yang dibutuhkan. Hanya saja, pabrik pengolahan ikan tidak bersedia menerima hasil tangkapan nelayan karena ketidaksesuaian harga, di mana pabrik menginginkan harga murah sedangkan nelayan menetapkan harga yang tinggi. Akhirnya ikan tangkapan nelayan Kota Bitung dikirim dan dijual ke luar Bitung seperti Jakarta dan Surabaya. Hal ini mengakibatkan data penjualan hasil tangkapan di Kota Bitung dilaporkan menurun, padahal produktivitas perikanan bersih di Sulawesi Utara justru meningkat.

Untuk menanggulangi permasalahan yang terjadi, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Sulawesi Utara Ronald Sorongan mengatakan, saat ini pemerintah daerah tengah mengupayakan penyelesaian dengan penyusunan Peraturan Daerah (Perda).

“Sebagai salah satu opsi penyelesaian masalah kekurangan bahan baku di pabrik pengolahan ikan, kami di Provinsi sedang menyusun usulan kebijakan dalam bentuk Perda, di mana penangkap wajib menjual 70% hasil tangkapannya untuk pabrik pengolahan di Bitung dan sekitarnya, sebelum dijual keluar wilayah Sulawesi Utara. Dari 70-an Unit Pengolahan Ikan (UPI) di Sulawesi Utara, 56 UPI ada di Bitung,” ungkap Ronald.

Sehubungan dengan hal tersebut, Ketua Komisi IV DPR Edhy Prabowo meminta agar penyelesaian masalah bahan baku untuk UPI di Kota Bitung ini sudah ditetapkan pada pertengahan Oktober 2017 ini. Menyanggupi hal tersebut, KKP akan kembali melakukan pertemuan pada 4 Oktober 2017, dengan mengundang pelaku usaha pengolahan ikan, nelayan, dan pelaku usaha penangkap ikan, bersama Pemda dan pihak perbankan guna menuntaskan kendala pasokan bahan baku ikan di Bitung.

KKP optimis, sektor perikanan Kota Bitung akan membaik dan meningkat pesat jika dilakukan beberapa perbaikan. Direktur Jenderal Perikanan Tangkap KKP Sjarief Widjaja mengatakan, ada dua hal yang perlu diperbaiki. Pertama, mengubah business model lama, di mana UPI yang dulu bergantung kepada kapal-kapal eks-asing, sekarang harus bermitra dengan nelayan atau kapal penangkap ikan lokal.

“Kami dapati bahwa kapasitas keuangan perusahan pengolahan ikan belum semuanya siap untuk membayar bahan baku ikan secara tunai ke nelayan. Banyak dari mereka yang mengutang ketika membeli, dan nelayan tidak suka. Kami rasa perlu semacam kredit modal kerja berjangka (standby loan) agar bisa mendapatkan harga yang bersaing dengan pembeli ikan lainnya untuk mengisi pabrik,” terang Sjarief.

Kedua, perlunya pelatihan kepada nelayan untuk memberikan pemahaman mengenai jenis dan kualitas ikan yang akan dipasok ke pabrik. Selama ini, nelayan masih menjual ikan secara gelondongan, sehingga diperlukan pelatihan untuk mensortir tangkapan nelayan.

Adapun Direktur Jenderal Peningkatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan (PDSPKP) Nilanto Perbowo mengatakan, industri perikanan harus siap menghadapi tantangan yang lebih berat ke depannya. Menurutnya, secara global, Industri perikanan khususnya pengalengan (cannery) memang tengah mengalami penurunan. Hal ini terjadi karena pabrik pengalengan harus berproduksi 24 jam agar efisien, sementara sumber daya ikan tidak selamanya bisa konstan karena bergantung pada musim. Oleh karena itu, Ia menilai impor dapat dilakukan sebagai pilihan pengganti dan hanya bila sangat dibutuhkan .

“Apabila industri di Bitung ingin memenuhi pasokan bahan bakunya, maka harus berani bersaing dengan harga yang ditawar di Pulau Jawa,” pungkas Nilanto. (p/ma)