Jejak Tasawuf Ibnu Arabi Hingga Kini

By Admin


Oleh: Swary Utami Dewi

(Urban Sufism Society)

nusakini.com - Ibnu Arabi. Nama ini layaknya sebuah misteri, yang membuat penasaran dan menggiring keingintahuan lebih lanjut, baik tentang tokoh ini maupun pemikirannya. Ibnu Arabi memang tokoh tasawuf terkemuka yang menarik. Ajaran tasawufnya begitu menantang, membuat penasaran dan membutuhkan ketajaman untuk menyingkapnya. Kerap pro dan kontra terhadap ajaran Ibnu Arabi muncul. Meski demikian, buah pemikirannya masih digeluti hingga kini, termasuk oleh mereka yang tinggal di metropolitan. Mengingat begitu menariknya Ibnu Arabi dan ajarannya, maka Urban Sufism Society menggelar bahasan bertemakan "Jejak Ibnu Arabi di Metropolitan", pada 18 September 2020. Hadir sebagai pembahas adalah Prof. Dr. Kautsar Azhari Noor dan Prof. Shafa Elmirzana. Juga ada Prof. Komaruddin Hidayat dan Dr. Budhy Munawar Rachman, yang makin memperkaya wawasan tentang Ibnu Arabi.

Tawasuf Ibnu Arabi sendiri adalah tasawuf falsafi. Tasawuf ini tercatat mulai muncul dalam khazanah Islam sejak abad keenam Hijriyah, meski para tokohnya baru dikenal seabad kemudian. Dapat diduga, tasawuf ini mencapai puncaknya melalui ajaran Ibnu Arabi. Beberapa bukunya yang terkenal di antaranya Futuhad Al Makkiyah dan Fushush Al Hikam. 

Saat memaparkan pemikiran sufi kelahiran Marsia ini (ibukota Andalusia Timur), Prof. Kautsar menjelaskan bahwa Ibnu Arabi merupakan salah satu mistikus yang paling terkemuka di dunia Islam, khususnya di wilayah Parsi dan Turki. Gaung pengaruh Ibnu Arabi bahkan sampai ke Nusantara. Beberapa tokoh tasawuf serta ulama besar Nusantara yang dipengaruhinya antara lain Hamzah Fansuri, Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari, Syekh Nawawi al-Bantani dan Syekh Abdus Shamad al- Palimbani.

Mengapa sosok sufi yang dilahirkan pada abad ke-12 Masehi ini dipandang istimewa? Salah satu alasannya karena kemampuan Ibnu Arabi "memfilsafatkan" pengalaman spiritualnya. Mistisisme dan filsafat berpadu dalam diri Ibnu Arabi, yang kemudian disajikan secara menarik dalam kesadaran metafisis. Pengalaman-pengalaman visioner mistik dalam hidup Ibnu Arabi dibunyikan melalui pemikiran filosofis yang dalam. Olah fikir dan olah batin yang melampaui akan mampu didapatkan saat seseorang menemukenali dan menyelami gagasan-gagasan Ibnu Arabi.

Prof. Kautsar menjelaskan secara singkat, namun padat, beberapa konsep filosofis kunci yang berasal dari ajaran Ibnu Arabi. Sebut saja Wahdatul Wujud, Insan Kamil dan Tajalli.

Mari kita mulai dari Wahdatul Wujud. Wahdatul Wujud, yang di kalangan sufi nusantara disebut Wujudiyah, dimaknai sebagai "kesatuan wujud". Pemahamannya dimulai dari kesadaran bahwa alam semesta ini tidak tercipta dari ketiadaan. Alam semesta dan seluruh mahluk diciptakan oleh Sang Khalik. Melalui konsep Wahdatul Wujud, Ibnu Arabi mengajarkan bahwa pada hakikatnya wujud mahluk adalah merupakan wujud dari Khalik itu sendiri. Wujud Khalik termanifestasi di dalam segala wujud yang ada di alam raya. Bahkan, wujud Sang Pencipta menyatu dengan wujud yang dicipta. Maka, segala sesuatu yang ada di alam semesta ini hanya memiliki satu hakikat wujud yaitu wujud Sang Pencipta. Itulah makna Wahdatul Wujud.

Tidak bisa dipungkiri bahwa konsep ini memang banyak membuat dahi berkerut. Lalu bagaimana memahaminya dengan cara yang lebih sederhana? Ada yang mengibaratkannya seperti cermin dengan tampilan orang atau benda yang bercermin. Misalnya saat kita bercermin, yang ada di balik cermin itu bukan kita, tapi juga bukan selain kita. Tampilan dalam cermin itu adalah penampakan atau perwujudan kita. Tampilan itu baru ada dengan adanya kita yang bercermin. Tapi, ia sendiri bukanlah kita. 

Kemudian, Prof. Kautsar masuk dalam penjelasan konsep tajalli. Perlu dipahami bahwa tidak ada sesuatupun yang nyata kecuali Al Haqq. Yang nyata atau Real hanyalah Tuhan. Wujud yang hakiki itu hanyalah Allah. Selebihnya hanyalah “wujud bayangan” yang merupakan manifestasi, bayangan atau penampakan dari wujud yang hakiki tersebut. Inilah yang dalam bahasa kaum sufi disebut tajalli. Manifestasi Wujud Khalik ini ada dan ditemui di dalam segala wujud yang ada di alam raya. Dengan demikian, seluruh alam semesta ini adalah manifestasi (tajalli) dari nama-nama dan sifat-sifat Tuhan. Dan yang paling sempurna dari tajalli ini adalah manusia.

Dalam ajaran Ibnu Arabi dipahami bahwa tujuan utama keberadaan manusia adalah "penyatuan" dengan Sang Khalik. Manusia yang bisa "menyatu" dengan Sang Pencipta adalah manusia yang sempurna, yakni Insan Kamil. Insan Kamil adalah manusia yang berakhlak dengan akhlak Allah, artinya berakhlak dengan nama-nama dan sifat-sifat Allah. 

Perlu digarisbawahi, menjadi Insan Kamil bukan berarti meniru secara aktif nama-nama Allah, karena itu berarti menyaingi Allah. Selain menyaingi Allah, manusia juga jatuh dalam perangkap keangkuhan dan kesombongan. Lalu bagaimana cara berakhlak yang benar? Prof. Kautsar menegaskan bahwa dalam diri manusia ada sifat-sifat ketuhanan, ada pula sifat-sifat manusia. Berakhlak yang benar dilakukan dengan cara menafikan sifat-sifat manusia dan menegaskan sifat-sifat Allah. Menegaskan di sini berarti selalu mendekatkan diri pada sifat-sifat ketuhanan. 

Pengalaman spiritual Abu Yazid menjadi catatan penting di sini. Pada suatu hari, Abu Yazid bertanya pada Rabb-nya, bagaimana cara mendekatkan diri kepada Allah. Allah menjawab: "Tinggalkan atau nafikan dirimu, dan datanglah kepadaku."

Maka, selama jejak ego masih tersisa, seorang penempuh jalan Tuhan tidak akan mencapai tingkatan Insan Kamil ini. Namun saat manusia berhasil meninggalkan sifat-sifat manusia, maka akan ditemui sifat-sifat ketuhanan. Lebih jauh, manusia yang mampu menafikan sifat manusia akan menemukan ketentraman pribadi. Tidak ada lagi ego atau diri. Yang tersisa dan ada hanyalah Allah. Manusia yang sudah berada pada tingkatan ini ibarat "mati sebelum mati". Yang mati adalah sifat-sifat manusianya.

Saat manusia berhasil menyingkirkan semua ego dan yang ada hanyalah Allah, maka dalam tasawuf, inilah yang disebut sebagai makrifat. Makrifat sendiri adalah tingkatan tertinggi dari perjalanan seorang sufi. Jejak seorang manusia dalam menjalani tasawuf harus dilalui secara bertahap. Mulai dari tingkatan syariat, tarikat, hakikat dan akhirnya makrifat. Keempatnya merupakan satu rangkaian dan dilakukan secara bertahap hingga puncaknya adalah makrifat.

Pada tingkatan makrifat, tidak ada lagi "aku dan kamu". Yang ada hanya Tuhan. "Aku" menjadi penglihatan, pendengaran, penciuman, tangan dan kaki dari Sang Khalik. Dalam tingkatan ini, hubungan sang hamba dengan Tuhan, seperti hubungan seorang manusia dengan kekasihnya. Tidak hanya itu. Seseorang yang mencapai tingkat makrifat juga memiliki hubungan harmonis dengan sesama dan dengan alam, karena semua yang ada di alam adalah tajalli atau manifestasi Sang Ilahi.

Jika Prof. Kautsar memaparkan hal-hal prinsip dan mendasar tentang tasawuf dan Ibnu Arabi, lain lagi Prof. Shafa Elmirzana. Prof. Shafa lebih menekankan alasan manusia, khususnya manusia modern tertarik pada tasawuf. Menurutnya, dalam tasawuf ada unsur egaliterian, liberalisasi dan "pemberontakan" terhadap dogma agama. Tasawuf membuka diri bagi siapapun yang ingin melakukan pencarian terhadap Tuhan tanpa dibatasi oleh sekat tertentu. Inilah yang menjadikan tasawuf begitu menarik untuk digeluti.

Dalam konteks kekinian, tasawuf juga tetap relevan saat manusia bergiat mencari makna hidup. Tasawuf memfasilitasi kehausan ini dengan menyediakan oase pencarian makna yang berlapis-lapis dan mendalam untuk ditemukenali. Salah satu yang ditelisik tentu saja pemikiran tasawuf Ibnu Arabi.

Senada dengan Prof. Shafa, Dr. Budhy Munawar Rachman menilai bahwa banyak pemikiran Ibnu Arabi bersifat kontemporer dan kontekstual. Paling tidak ada tiga yang sangat relevan dengan situasi sekarang, yakni pandangan pluralisme, egalitarian (senada dengan perspektif gender, bahkan memperkaya pencarian makna yang lebih dalam), serta ekoteologi. 

Terakhir, Prof. Komaruddin Hidayat memperkaya tinjauan terhadap tasawuf dan Ibnu Arabi dengan memberi beberapa catatan. Pertama, tasawuf itu memberi wadah untuk perenungan dan pencarian terus menerus. Kadang melelahkan, kadang mengasyikkan. Namun akan terus menantang untuk digali. Dalam pencarian makna ini tasawuf mengutamakan pendekatan kalbu, mistik dan batiniah. Setiap dari kita bisa menyelami kedalaman pencarian sesuai kemampuan kita. Setiap dari kita juga bisa melihat dengan tafsiran yang berbeda-beda. Namun tentu saja semua telisik dan pendalaman ini tidak bisa lepas dari panduan Qur'an.

Kedua, dalam tasawuf Ibnu Arabi, Tuhan dipahami dengan cara "mengayikkan". Tuhan sebagai zat memang tidak akan terjangkau manusia. Tapi Tuhan bisa ditemukenali melalui ciptaannya, yakni manusia dan alam semesta. Dan inilah ajakan Ibnu Arabi kepada kita semua.

Terakhir, cara pandang Ibnu Arabi dalam melihat hubungan antara Tuhan dengan ciptaannya nampaknya juga sejalan dan konteksual dengan "temuan-temuan" baru manusia modern, misalnya mengenai Fisika Kuantum. Dengan semua alasan tersebut, maka tidak heran, ajaran tasawuf Ibnu Arabi masih tetap bergema hingga kini.