Marilah Selalu Menulis

By Admin


Oleh: Swary Utami Dewi

nusakini.com - Webinar Kompas ePILOG: "Memandang Kebudayaan dari Tepian Memandang Kebudayaan dari Tepian". Judul kegiatan ini mengundang rasa ingin tahu. Apa itu epilog? Sederhananya, epilog bisa diartikan sebagai bagian penutup pada karya sastra. Fungsinya untuk menyampaikan intisari cerita atau menafsirkan maksud karya sastra tersebut. Maka epilog ini pula yang ditampilkan dalam ajang webinar 15 Agustus 2020 lalu yang digelar oleh salah satu harian terdepan di negeri ini. Karya yang diapresiasi adalah esai-esai dari seorang sastrawan terkemuka Indonesia asal Bali, Putu Fajar Arcana. Yang menyarikan, menafsirkan dan mengapresiasi juga dua orang sastrawan. Pertama adalah Jean Couteau, seorang penulis, sastrawan dan budayawan asal Prancis yang sudah puluhan tahun menetap di Bali. Kedua, Linda Christanty, seorang sastrawan Indonesia yang sudah mendapatkan banyak penghargaan.

Karya-karya Bli Can, panggilan akrab Putu Fajar Arcana, dinilai mampu menampilkan karya dunia yang lintas batas dan mampu melampaui tembok-tembok identitas. Melalui karya-karyanya, termasuk esai, Bli Can mengajak siapapun untuk menghargai perbedaan dan saling mencerahkan satu sama lain. Pendeknya, menulis adalah salah satu cara mengedukasi kepekaan manusia menjadi sosok lintas batas.

Edukasi ini pula yang dilakukan tiga penulis kampiun tersebut terhadap audiens yang nimbrung di webinar. Berbagai pertanyaan muncul. Aku sendiri tergerak untuk menanyakan dua hal. Adakah kata terlambat untuk menulis? Dan, apakah menulis harus menunggu mood atau momen tertentu? 

Dua pertanyaan di atas seakan menjadi pertanyaan refleksi bagi diriku. Kumulai dari cerita singkat ini. Menulis memang kulakukan sejak kecil, usia belasan. Tapi kadang-kadang saja kulakukan. Lebih sering aku "bersembunyi" di balik alasan kesibukan dan prioritas. Maka tulisankupun menjadi jarang tercipta. Setahun paling satu sampai tiga kali. Beda dengan saat aku remaja dulu yang rasanya lebih produktif. 

Lalu dalam tiga tahun terakhir aku mulai lebih banyak menulis karena merasa "sayang" jika ide dan cerita di sekitarku hilang begitu saja. Terlebih lagi banyak pengalaman berharga yang kutemui saat berinteraksi dengan masyarakat. Intensitas menulis makin sering kulakukan. Dalam sebulan minimal sekali aku menulis.

Saat ajaib itu muncul justru di masa pandemi. Pagebluk adalah saat krisis. Ada yang mengartikan krisis bermakna ganda. Ada ancaman, ada pula peluang. Ancaman kesehatan dan ekonomi paling dirasakan oleh masyarakat dunia. Demikian pula aku yang turut juga merasa was-was dan lebih waspada terkait kesehatan, mengurangi aktivitas kerja di luar rumah dan menciptakan adaptasi di rumah. Alhamdulillah, aku ternyata juga bisa meraih sisi peluang di era pagebluk ini. Entah bagaimana saat di rumah, saat diam dan tenang, kutemui masa refleksi. Dan kelanjutannya, semangat dan kemampuan menuliskupun seakan pulih kembali. Dalam seminggu bisa 3-4 tulisan yang kuhasilkan. Banyak ide yang kutemukan dari renungan pengalaman, webinar, bacaan ataupun berbincang. Dan entah mengapa, rasanya lebih banyak dorongan untuk menulis, daripada diam membiarkan ide yang bertebaran lenyap begitu saja.

Saat melihatku anakku, Ara, menunjukkan bakat luar biasa menulis sejak kecil -- dan sekarang menjadi salah satu cerpenis Kompas -- aku makin berpikir, apakah terlalu terlambat untuk kembali menulis? Atau apakah harus dimulai dari usia dini untuk bisa jadi penulis handal? Lalu, apakah menulis memang harus menunggu mood, ilham, inspirasi atau apapun istilahnya? Pertanyaan-pertanyaan ini lantas kusampaikan ke Bli Can.

Dan, Bli Can memberi jawaban yang tidak terduga. Pertama, tidak ada kata terlambat untuk menulis. Menulis tidak harus dimulai saat usia dini. Atau baru dilakukan saat kita merasa sudah memiliki segudang pengalaman. Seseorang bisa jadi penulis atau katakanlah mulai menulis pada usia berapapun. Jikapun ada pengalaman dan kedalaman batin, itu akan semakin memperkaya tulisan seseorang.

Kedua, menulis itu bisa kapanpun. Bli Can menegaskan, tidak ada kaitan antara mood dengan menulis. Mood itu kalau tidak dipaksa, ya tidak ada. Maka, dalam menulis tidak ada momentum, tidak ada mood. Haruslah dipaksakan untuk selalu mau menulis. Bli Can menambahkan agar setiap hari harus ada yang ditulis. Idenya bisa apa saja. Mulai dari hal-hal sederhana di sekitar kita yang kita kuasai dengan baik. Apa itu? Bisa jadi mulai dari tema memasak, berkebun di halaman, mencuci piring dan sebagainya. Kuncinya: teruslah berlatihlah.

Menambahkan Bli Can, Linda mengatakan bahwa ide menulis bisa diperoleh dari apapun di sekitar kita. Saat di rumah, berjalan, ngobrol dan sebagainya. Jadi ide itu sifatnya sporadis. Karena itu Linda menganjurkan untuk selalu membawa sesuatu yang bisa menjadi tempat mencatat hal-hal menarik dan inspiratif yang kita temui. Selain itu, Linda mengajak untuk lebih banyak membaca agar tulisan yang dihasilkan bisa lebih dalam.

Dari webinar ini, aku belajar mematahkan mitos yang ada di seputar tulis menulis. Juga makin menghargai siapapun yang mau selalu menulis, dalam bentuk apapun itu. Manusia memang akan lebih tercerahkan dengan menulis ataupun membaca tulisan yang baik. Jadi, marilah selalu menulis.