Menggali Karya dan Kiat Berkarya Martin Suryajaya

By Admin


Oleh: Israr Iskandar

(Komunitas Aksi Literasi)

nusakini.com - Dalam seri diskusi Aksi Literasi pada Jumat (19/2/2021) kemarin, ditampilkan kembali Martin Suryajaya SS M. Hum, penulis buku filsafat, kritik seni dan sastra yang masih terbilang muda. Pada diskusi daring tersebut, Martin tampil bersama Andrinof Chaniago dari Komunitas Aksi Literasi, sebagai partner dialog, dimoderatori Swary Utami Dewi, serta diikuti sekitar 70-an peserta. Banyak hal yang digali dari Martin, khususnya terkait isi (sebagian) karyanya maupun kiatnya dalam menghasilkan karya-karya berbobot khususnya bidang filsafat.

Martin memang terbilang sangat produktif dalam menulis buku. Ia telah menulis sejumlah buku, termasuk jenis novel. Tak hanya itu, ia juga rajin menulis banyak artikel di sejumlah media. Bahkan sebagai milenial, belakangan Martin juga memanfaatkan platform multimedia, dalam hal ini khususnya kanal Youtube, untuk menyebarkan pengetahuan filsafat ke publik, khususnya untuk yang secara formal tidak berlatar belakang pendidikan filsafat. 

Main Game dan menulis sejak kecil Ketertarikan Martin pada kegiatan menulis sudah sejak masa SD. Menariknya, ia suka menulis karena suka main game sebetulnya. Ia menulis dengan menyadur ulang cerita dari game untuk kemudian disebar ke teman-teman di kelas. Namun konteksnya, ia memiliki bapak yang sangat terbuka untuk diskusi. Jadi apa-apa ia diskusikan sama bapaknya sampai pada masalah-masalah yang belakangan ia pahami sebagai filsafat. Kondisi itu pula yang kemudian membentuk rasa kesukaannya pada berbagai bidang ilmu.

Sewaktu bersekolah di SMA Kolese Loyolla Semarang, Martin tak hanya menyalurkan bakat menulisnya di mading sekolah, tapi juga suka berdiskusi dan bahkan pernah berdebat dengan kepala sekolah. Waktu sekolah menengah itu ia memang suka melawan kebijakan sekolah. Ia misalnya memprotes larangan siswa berambut gondrong, sebab waktu sebelumnya dibolehkan. Artinya, ia memang sudah terbiasa membangun argumen-argumen yang menjustifikasi pandangan-pandangannya lewat bacaan filsafat itu. Menariknya pihak sekolah mengizinkan siswanya melakukan debat dan protes semacam itu. Bahkan kepala sekolah juga mensuplai Martin buku bacaan, antara lain buku Sartre, yang justru ia pakai untuk melawan kebijakan sang kepala sekolah. Situasi seperti itulah yang memungkinkan Martin bisa men-develop bakat-bakat menulisnya.  

Ketika kuliah di STF Driyarkara Jakarta kebiasaan membaca, menulis dan berpikir kritisnya makin tersalurkan. Dalam sistem perkuliahan di kampus, Martin sudah terlatih membaca teks filsafat. Satu kuliah dalam satu semester itu ia sudah terbiasa membaca satu teks, misalnya teks Aristoteles tentang jiwa. Ada proses familiaritas mahasiswa atas teks-teks filsafat semacam itu, termasuk apa isi teksnya dan bagaimana cara meringkasnya. 

Kiat menulis buku          

Kebiasaan membaca teks filsafat itulah yang kemudian menjadi modal dan memudahkan Martin menulis buku-buku filsafat. Ia malah merasa menulis buku filsafat itu lebih mudah, karena sifatnya non-empiris, hanya studi kepustakaan, sehingga yang diperlukan hanya membaca, tidak perlu ke lapangan, seperti bidang ilmu lainnya.

Namun ia mengakui yang diperlukan adalah kiat khususnya. Bagaimana proses sampai bertemu ide kemudian dengan kerangka penulisan yang sistematis dan mengalir, menjadi sangat penting. Kalau untuk menulis jenis buku sejarah pemikiran, maka ia biasa membaca literatur pokok sejarah pemikiran, terus kemudian melihat apa saja yang tidak boleh terlewat (dalam membaca). Dengan cara begitulah ia bisa lebih mudah pula dalam menyusun ulang strukturnya

Memang untuk sampai pada suatu kerangka yang mantab, Martin mengakui memang cukup lama juga dalam menyusunnya. Sebab kalau salah nanti bisa buntu di tengah. Karena itu dalam menulis buku, bagian yang ia paling sukai adalah menyusun daftar isinya dulu. Di situ, sudah harus terbayang bagian-bagian buku dari awal sampai akhir. Tentu dalam prosesnya itu, ia memang harus banyak membaca buku dulu, memeras dari berbagai macam rujukan.

Ia kembali menegaskan pentingnya kebiasaan membaca buku dan hubungannya dengan kemampuan membaca cepat dengan pemahaman yang mantab. Kalau seseorang sering membaca buku, kecepatan membacanya semakin lama semakin meningkat. Menurutnya, kiat dalam proses membaca cepat itu, yang dicari kemudian adalah strukturnya. Ketika struktur sudah dipegang, maka detil bisa mengikuti, kecuali close reading untuk keperluan tertentu, seperti membaca teks sastra.

Martin menjelaskan, struktur mungkin tak muncul di daftar isi, tapi bisa dilihat secara cepat dan akan terlihat pada bagian mana saja yang menjadi tesis-tesis pokok buku. Ini karena masyarakat secara umum dewasa ini dihadapkan pada overproduksi pengetahuan, sehingga orang tak mungkin bisa mengikutinya satu per satu. Untuk itu, kita mesti melatih diri belajar seperti algoritma. Membaca pola data yang besar sekali, karena kita tak mungkin memaknai kata satu per satu. Begitu pola logikanya itu dapat, maka secara umum aman untuk menjadi dasar pengetahuan, termasuk kemudian untuk keperluan menulis ulang. Kalau perlu detil, nanti ia bisa balik lagi ke teks. 

Namun satu hal yang sangat penting dalam proses menulis adalah disiplin. Martin menerapkan waktu yang ketat dalam membaca dan menulis. Kalau ia lagi sangat terdorong untuk menulis suatu buku misalnya maka pas bangun tidur sudah di-set waktu untuk menulis sampai makan siang. Setelah selesai menulis, ia membaca lagi pada malam hari untuk keperluan menulis besok paginya. Begitulah setiap hari sampai bisa diselesaikan satu buku filsafat dalam waktu dua bulan saja, seperti sejarah pemikiran politik klasik. Ia menegaskan, menulis buku ilmu pengetahuan tak harus mengikuti mood, seperti dalam menulis karya sastra. Kalau mengikuti mood, menulis buku ilmu pengatahuan tidak akan selesai-selesai, kata Martin. 

Karya-karya Martin

Martin telah menulis sejumlah buku berbobot, termasuk novel. Tiga dari sekian bukunya di bidang filsafat bisa disebut di sini: Asal Usul Kekayaan (2013), Sejarah Estetika (2016), dan Sejarah Pemikiran Politik Klasik (2016). Buku Sejarah Estetika tebalnya bahkan mencapai 900 halaman, sehingga bisa disebut sebagai karya ambisius.

Dikatakan, penulisan buku sejarah estetika dan sejarah pemikiran politik klasik sebenarnya untuk menjawab kebutuhan literasi di Indonesia. Sebabnya antara lain banyak muncul anggapan klise di masyarakat, bahwa seni dan keindahan adalah perkara perasaan. Padahal persoalannya jauh lebih komplek dari pada itu. Seni juga mencakup intelektualitas dan bahkan soal kebenaran. 

Sama halnya dengan sejarah pemikiran politik. Selama ini jika bicara demokrasi misalnya, hampir semuanya diandaikan dengan sendirinya benar. Lewat sejarah pemikiran politik, bahwa sebetulnya ide semacam itu muncul dalam konteks yang tertentu. Tidak muncul di era katakanlah Yunani, ketika awal ide demokrasi dan kesetaraan itu. Ide kesetaraan itu ternyata bersifat partikular, yakni kesetaran di kalangan para laki-laki dengan jumlah kekayaan tertentu saja. Ini sesuatu yang tentu sangat berbeda dengan ide kita sekarang tentang demokrasi. Dengan arti kata lain, semua ide yang kita terima mentah-kentah sekarang ini itu sebetulnya bisa dipertanyakan ulang atau dipertajam lagi asalkan tahu sejarah perdebatannya.

Begitu pula buku Asal Usul Kekayaan yang membahas tentang bagaimana teori nilai yang berkembang hari ini, yakn teori nilai utilitas, telah berdampak pada cara pandang ekonomi yang spekulatif yang cenderung akhirnya membuat ekonomi menjadi tidak stabil dan menghasilkan krisis seperti waktu krisis finansial 2008 ketika sektor finansial dipisahkan dari sektor riil dan sebgainya. Itu yang sebetulnya dilandasi oleh pergeseran dalam melihat nilai ekonomi, yang semula diletakkan pada jumlah jam kerja masyarakat dalam menghasilkan barang, komoditas atau jasa kemudian bergeser pada preferensi subjektif setiap pelaku ekonomi, sehingga tidak ada lagi ukuran-ukuran objektif bagi nilai ekonomi. Persoalan semacam itulah yang mau dijawab dalam buku asal usul kekayaan. Tawarannya dalam buku itu adalah mencoba merevitalisasi lagi ide tentang teori nilai kerja.