Seminar Anti Rokok PP IPM, Iklan Rokok Dianggap Masih Sulit Dikendalikan

By Abdi Satria


nusakini.com-Denpasar- Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Muhammadiyah (PP IPM) menyelenggarakan Seminar Tobacco Control Spesial Rakernas Bali 2021 yang mengusung tema “Jangan Ada Iklan, Promosi, dan Sponsor Rokok di antara Kita”.

Materi disampaikan oleh Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Ayu Swandewi Putri Astuti, dan Tenaga Ahli Menteri (TAM) Kominfo RI, Devie Rahmawati.

Menurut Ayu, iklan rokok berpengaruh pada naik atau turunnya angka perokok aktif di usia anak dan remaja.

“Menurut riset kesehatan dasar 2018, tren merokok orang dewasa tidak begitu signifikan, akan tetapi tren merokok di kalangan remaja cukup tinggi. Bahkan, riset menunjukkan bahwa ⅕ perokok di Indonesia mulai merokok sejak usia di bawah 17 tahun,” papar Ayu.

Per tahun, angka kematian akibat rokok di Indonesia menurut Ayu mencapai 260.000 jiwa. Sementara itu kerugian makro ekonomi yang dialami pemerintah pada tahun 2015 mencapai 596,61 triliun rupiah. Defisi BPJS juga terjadi karena penyakit katarospi—penyakit yang berkaitan dengan merokok.

Ayu berharap pemerintah tak kalah kreatif dalam mengendalikan iklan rokok beserta edukasi untuk menghentikannya. Sebab pada umumnya perusahaan rokok menyasar industri kreatif.

“Mereka kerap kali mengadakan kegiatan yang dekat dengan kaum muda seperti penyelenggaraan konser musik, perlombaan, dan juga mengkampanyekan gaya hidup merokok dengan kreatif menggunakan tagar di media sosial,” ungkap Ayu.

Menyambung Ayu, Devie Rahmawati menilai industri rokok menggunakan teknik manipulatif dalam promosinya.

“Sebuah merek rokok menggunakan kata ‘ringan’ atau memanfaatkan desain yang kekinian dan menarik untuk menunjukkan jika produk tersebut tidak berbahaya,” ujar Devie.

Strategi lain pun muncul dengan munculnya e-cigarette yang melancarkan promosi sebagai rokok yang wangi dan menunjukkan gaya hidup kekinian.

“Promosi ini manipulatif dengan membuat narasi jika e-cigarette tidak berbahaya jika dibandingkan dengan rokok konvensional, padahal sebaliknya,” kata Devie.

Devie melanjutkan, bahwa anak muda menjadi sasaran promotor rokok karena semakin muda usia pengguna rokok, maka akan semakin lama pula mereka mengkonsumsi rokok. Hal ini berkaitan dengan pembentukan sosial tentang bagaimana remaja adalah entitas dalam fase pembentukan baik biologis ataupun psikologis.

“Mereka pun menjadi sasaran empuk ajang promosi suatu produk, termasuk rokok. Anak muda sebagai kultur simbolik menjadi pintu masuk yang kuat bagi promotor positif/negatif,” ujarnya.

Kemudian, ketika muncul studi yang menarasikan adanya hubungan rokok dengan penyakit karsinoma, perusahaan rokok dengan tegas menyanggah pembuktian klinis tentang bahaya rokok itu menggunakan taktik komunikasi.

“Sehingga komunikasi pun menjadi titik sentral untuk memperkuat argumentasi mereka dan terus mempromosikan rokok,” jelas Devie.

Sebagai pemungkas, Devie mengimbau jika upaya penghentian kampanye rokok tidak akan berhasil tanpa menggandeng masyarakat sebagai konsumen utama rokok. Terlebih jika narasi antirokok yang digaungkan pemerintah justru ditolak publik yang merupakan pengguna rokok dan mereka berada di sisi produsen.

“Tentu masalah ini akan menjadi tantangan yang sangat serius bagi negara dalam membudayakan gaya hidup sehat,” pungkas Devie.(rls)