Sukriansyah S. Latief: Sirtjo Koolhof, di Sekitar La Galigo dan RN Wereldomroep (1)

By Admin

Foto/Sukriansyah S. Latief   

Oleh: Sukriansyah S. Latief*    

"Masihkah Ada Perhatian Kita pada La Galigo? TERSEBUTLAH di Tanah Luwu, seorang lelaki Bugis yang gagah dan berbudi pekerti baik bernama Sawerigading. Dikisahkan ia jatuh cinta berat kepada We Tenri Abeng, yang cantik jelita. Namun apa mau dikata, Sawerigading tidak boleh menikahinya, karena ternyata gadis itu adalah saudara kembarnya, yang terpisah sejak mereka dilahirkan

Cinta Sawerigading pun kandas. Sebagai pemuda yang penurut kepada orangtuanya, Sawerigading akhirnya memutuskan pergi merantau ke China. Namun dalam perjalanan, di Wajo, ia bertemu dengan We Cudaiq, yang tak lain sepupunya sendiri. Ia pun menemukan pribadi dan ‘kecantikan’ yang mirip seperti dimiliki We Tenri Abeng. Akhirnya Sawerigading melamar dan menikahi We Cudaiq. Dari perkawinan itulah kemudian lahir La Galigo".  

LELAKI berkumis dan bercambang putih itu kembali mengisap rokoknya dalam-dalam, sembari menceritakan ringkasan kisah dari banyak sekali cerita tentang La Galigo. Siang itu, usai makan bersama, ia melanjutkan ceritanya di ruang khusus merokok. Tak banyak orang di ruangan 2x3 meter itu, hanya seorang koleganya yang sedang membaca surat kabar. Sesekali menggunakan bahasa Bugis, lelaki paruh baya itu tampak sangat antusias menceritakan epos La Galigo, walau kadang rasa kecewanya juga tak bisa ia sembunyikan.

Itulah Sirtjo Koolhof, yang telah merampung 95 persen cerita di atas untuk dicetak menjadi sebuah buku, dengan judul Madduta (melamar). Tulisan tentang Madduta ini pulalah yang akan mengantarnya menjadi doktor di Universitas Leiden, Belanda. ‘’Tapi sekarang saya masih sangat sibuk, karena harus mengurusi berita dan banyak pegawai,’’ kata Sirtjo yang sejak1 Januari 2008 bekerja sebagai Kepala Seksi Indonesia, di Radio Nederland Wereldomroep, Belanda.

Sebenarnya, kata Sirtjo, 5 persen yang belum ia selesaikan dari Madduta itu bukanlah sepenuhnya karena kesibukan kesehariannya. Tapi lebih karena hingga saat ini belum ada yang mau atau menawarkan untuk mencetak Madduta. ‘’Padahal, untuk mencetak serial La Galigo ini, tidak sampai biayanya dengan satu Pajero punya gubernur atau bupati,’’ kata Sirtjo pada saat makan siang, pecan lalu.

Bagi dia, Madduta ini merupakan jilid ke-3 atau naskah ketiga yang akan dicetak. Sebelumnya telah ada dua buku yang dicetak, dari 12 naskah atau jilid yang dipersiapkan di perpustakaan Universitas Leiden. Menurut Sirtjo, jilid pertama La Galigo diterbitkan dengan kerjasama Koninklijk Instituut voor Taal-, land-en Volkekunde, Leiden (KITLV) pada 1995 oleh penerbit Djambatan di Jakarta.

Lalu terbitan jilid II dibiayai oleh Prince Claus Fund for Culture and Development dan KITLV. Dalam buku La Galigo jilid 2 yang juga diterbitkan menurut Naskah NBG 188 ini, disusun oleh Colliq Pujie Arung Pancana Toa. Transkripsi dan terjemahan oleh Muhammad Salim dan Fachruddin Ambo Enre. Sementara Sirtjo bersama Roger Tol di redaksi, dan ko-editor Nurhayati Rahman.

Foto: Sukriansyah S Latief    

Buku ini diterbitkan oleh Lembaga Penerbitan Universitas Hasanuddin, Makassar, pada tahun 2000. Diceritakan Sirtjo, La Galigo, sama dengan epos lainnya yang ada di belahan dunia ini, banyak bercerita tentang asal-usul manusia, perang, cinta, dan termasuk di dalam mencari jodoh, membuat anak, dan cucu. Ada yang bersifat hiburan, pengalaman, dan, ‘’Cerita lainnya tentang kehidupan manusia yang tentu ada positif dan negatifnya, termasuk dalam cerita Madduta ini,’’ katanya. 

Yang khas dari La Galigo, adalah bahasanya yang indah, dengan adaptasi cerita dari kebudayaan dan kehidupan masyarakat Bugis. La Galigo sendiri bercerita tentang pengalaman dan petualangan enam generasi keturunan dewa-dewa dunia atas dan bawah.

‘’Menariknya, La Galigo adalah epos tertulis terpanjang di dunia, yang tidak diketahui tahun berapa dan siapa penulisnya,’’ kata Sirtjo.

Bagi banyak orang, epos La Galigo memang dianggap sebagai sebuah karya sastra ‘masterpiece’, karena cara penyampaian dan bahasa yang digunakan merupakan bagian dari tradisi lisan dan tulisan masyarakat Bugis. Usai merokok dan ngobrol sebentar dengan teman kantornya,

Sirtjo mengajak saya ke ruang kerjanya. Kami menaiki banyak anak tangga, kalau tidak salah empat kali putaran atau dua lantai di atas ruangan bebas merokok. Saya sempat menanyakan mengapa ia tidak menggunakan lift, Sirtjo yang baru saja merokok itu menjawab, ‘’Biar sehat,’’ katanya.

Rupanya, tangga di kantor Radio Nederland Wereldomroep itu adalah jalan utama. Artinya, banyak pegawai yang lebih memilih menggunakan tangga daripada lift. Wawancara kemudian berpindah di ruangan kerja Sirtjo yang tidak begitu luas. Hanya ada satu kursi tamu, lemari buku dan berkas, serta setumpuk buku di mejanya.

‘’Maaf, ruangannya berantakan,’’ katanya. Usai mengambil gambar, wawancara pun dilanjutkan. Atas dasar kekhasan dan keunikan itulah --juga karena belum ada yang diterbitkan dan diterjemahkan dalam Bahasa Bugis, yang membuat Sirtjo mulanya tertarik untuk menyelami ‘lautan’ La Galigo.

Dengan bantuan dosennya, Noorduyn, yang pakar Bahasa Bugis di Universitas Leiden, Sirtjo yang ketika itu mengambil S-1, mempelajari sungguh-sungguh semua hal tentang La Galigo. Mulai dari belajar huruf lontarak, bahasa Bugis, sampai adat istiadat masyarakat Bugis.

‘’Saya cuma berdua ketika itu,’’ kata Sirtjo yang masuk kuliah Bahasa dan Budaya Indonesia di Universitas Leiden, pada 1987 dan tamat 1992. Untuk lebih mendalami bahasa dan budaya Bugis dan sekaligus menyelesaikan tugas akhirnya sebagai mahasiswa, Sirtjo meninggalkan Belanda dan tinggal selama 3 bulan di Amparita, Sidenreng Rappang (Sidrap), Sulawesi Selatan.

Di kabupaten inilah, dia melihat, bergaul, dan mempelajari kehidupan masyarakat dan melihat hubungannya dengan epos La Galigo. Semua yang dia temukan, termasuk naskah salinan dalam huruf Lontarak, dicatat dengan seksama dan disimpannya baik-baik. Bagi Sirtjo, belajar huruf Lontarak tidaklah sulit. ‘’Satu hari bisa,’’ katanya.

Tapi untuk berbahasa Bugis, dia mengaku membutuhkan 2 tahun untuk bisa lancar berkomunikasi. ‘’Itu pun masih banyak yang belum saya ketahui,’’ kata Sirtjo yang fasih berbahasa Inggris, Jerman, Jawa, dan Bugis, selain tentunya Bahasa Belanda. Sirtjo dilahirkan Tahun 1957 di Apeldoorn, Belanda. Besar di kota Deventer, lalu bersekolah tinggi Occupational Therapy di Huizen. Ia pernah bekerja di rumah sakit jiwa dan rumah sakit revalidasi sampai Tahun 1987. Tahun 1987 masuk kuliah bahasa dan budaya Indonesia di Universitas Leiden, dan tamat Tahun 1992.

Pada Tahun 1994-2000, Sirtjo bekerja di almamaternya sebagai peneliti yunior tentang Sastra Bugis La Galigo. Dan pada Tahun 1996-2003, ia bekerja di KITLV Press, Leiden. Dan sepanjang Tahun 2003 hingga 2007, ia dipercaya menjadi Kepala Perpustakaan KITLV, Leiden, hingga akhirnya Sirtjo menjadi Kepala Seksi Indonesia di di RNW. Lantas apa yang masih membuat Sirtjo kadang kecewa bila berbicara tentang La Galigo?

Selain kurangnya perhatian pemerintah Indonesia atau Sulawesi Selatan untuk menyosialisasikannya dengan menerbitkan buku, juga karena banyak orang Sulsel sendiri, khususnya Bugis yang tidak mau membaca atau mempelajarinya.

‘’Jarang yang kenal, dan siapa yang mau dan bisa membacanya,’’ tanya Sirtjo yang sudah 10 kali bolak balik Belanda-Indonesia. Padahal, di perpustakaan Universitas Leiden, Belanda, lanjut Sirtjo, manuskrip tentang La Galigo ribuan jumlahnya. ‘’Sayang sekali, dari sekitar 6000 halaman, baru sekitar 500 yang diterjemahkan,’’ katanya. Buku dan artikel lain yang pernah terbit soal La Galigo, antara lain yang ditulis R.A. Kern pada 1939, 1954, dan 1989, Fachruddin Ambo Enre pada 1999, dan Roger Tol pada 1990. Dan oleh masyarakat dunia saat ini, La Galigo begitu mendapat perhatian.

Pementasan I La Galigo yang dikemas Robert Wilson, seorang seniman teater dari Amerika Serikat di beberapa negara di Eropa, seperti Belanda dan Perancis, juga di Amerika, Australia, dan Asia, ramai dikunjungi penonton. ‘’Saya sampai beberapa kali ke luar negeri untuk menonton pementasan itu,’’ aku Sirtjo yang menaruh perhatian besar terhadap ‘masterpiece’ La Galigo. Lantas, bagaimana dengan kita?***

*Sukriansyah S Latief adalah Wartawan Senior