Cerita Mangrove Teluk Youtefa, Jayapura

By Admin


Oleh: Swary Utami Dewi

nusakini.com - ProgramPemulihan Ekonomi Nasional (PEN) penanaman mangrove di Indonesia, yang dilakukan pada Oktober sampai Desember 2020, terus bergaung. Program tersebut digawangi oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), khususnya Direktorat Jenderal Pengelolaan DAS dan Hutan Lindung (Ditjen PDASHL). Di tingkat tapak, pelaksanaannya dilakukan oleh Balai-Balai PDASHL, termasuk BPDASHL Memberamo yang wilayah kerjanya meliputi Provinsi Papua. Salah satu titik penanaman yang menarik untuk dikunjungi adalah lokasi tanam di wilayah Entrop di Distrik Jayapura Selatan, Kota Jayapura, Papua. Sebanyak 10 ha kawasan pesisir di sini ditanami mangrove oleh masyarakat sekitar dalam program PEN penanaman mangrove ini. Masyarakat tergabung dalam kelompok Tonggrich Mesi. Dan pada 27 November 2020, aku beruntung bisa mengunjungi kawasan indah ini, ditemani oleh Kepala BPDASHL Memberamo, Mahendro Harjianto, dan beberapa rekan lainnya, termasuk Dewi Irma Haktisari. Juga ada beberapa kawan dari Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Papua, seperti La Ode Ahyar Thamrin Mufti, Jon Lucky Mambrasar dan Al Kadir.


Dalam bahasa Tobati-Enggros, Tonggrich Mesi berarti buah bakau merah. Masyarakat di sini menanami mangrove sebagai bagian dari PEN penanaman mangrove yang dilakukan oleh BPDASHL Memberamo, bekerja sama dengan BBKSDA Papua. Karena mayoritas masyarakat di sini merupakan nelayan pesisir dan sangat tergantung dengan mangrove turun temurun, maka tidaklah sulit untuk mengajak mereka bergerak untuk menanam dan memelihara mangrove. Selain itu masyarakat Entrop, Tobati dan Enggros yang tinggal di Teluk Youtefa sudah sekian lama menjadi dampingan BBKSDA Papua. 


Masyarakat asli Kampung Tobati, yang wilayahnya juga mencakup Entrop, sejak lama relatif mudah menerima kedatangan suku lain untuk tinggal di wilayahnya. Tradisi masyarakat pesisir yang selalu terbuka dengan pendatang dan mudah berbaur menjadikan Kampung Tobati, Entrop, Enggros dan sekitarnya bersifat terbuka. Karena itulah di Kelompok Tongrich Mesi anggotanya beragam. Ada orang asli Tobati, Biak, Serui, bahkan orang Jawa Timur yang kawin mawin dengan orang Papua. Mereka yang datang ke kawasan ini sudah dipandang sebagai orang lokal karena sudah puluhan tahun berbaur dan beradaptasi dengan suku asli di sini.


Aku berutung bisa bertemu dan berbincang dengan seorang perempuan yang telah sekian lama menjadi pioner dan pegiat penanaman mangrove di kawasan Teluk Youtefa. Namanya Biok Oktoyane L. Saroi. Orang orang akrab memanggilnya dengan sebutan Mama Yane. Sosoknya sangat ramah dan bersahaja. 


Mama Yane sendiri adalah ketua Tonggrich Mesi yang beranggotakan 30-an orang (nama). Namun dalam praktiknya program ini dilakukan bersama-sama oleh keluarga. Mengapa keluarga? Karena sistem kekerabatan yang erat di Teluk Youtefa ini, maka pendekatannya bukan orang per orang. Pencarian bibit propagul, penanaman serta pemasangan pagar pengaman dari hantaman ombak dilakukan oleh perempuan yang bahu membahu bekerja sama dengan laki-laki, dibantu oleh anggota keluarganya.


Kepemimpinan Mama Yane yang bersifat merangkul membuatnya dihormat dan disegani anggota lainnya. Mama Yane sendiri tinggal di Kampung Hamadi yang masih termasuk dalam kawasan Teluk Youtefa. Bukan kali ini saja Mama Yane menggalang masyarakat untuk bertanam mangrove. Sejak masih berusia muda, mulai tahun 1997, Mama Yane bersama seorang pegiat mangrove lainnya, Pituri dari Serui, dan belasan orang lainnya telah memulai menanam mangrove dan terlibat dalam berbagai program penghijauan ataupun rehabilitasi. Baik itu yang didorong oleh BPDASHL Memberamo serta dinas terkait lainnya yang ada di Kota Jayapura, maupun atas inisiatif masyarakat sendiri.


"Sekarang semua dari mereka yang menjadi pegiat awal mangrove sudah sepuh. Hanya tinggal saya dan Pak Pituri yang masih bergiat untuk mangrove. Pak Pituri dengan caranya sendiri mengajarkan kepada anggota kelompok yang baru belajar tanam mangrove tentang cara memilih propagul yang baik, cara bertanam, mengatur jarak tanam, mengikat propagul dengan tiang ajir dan memasang pengaman," jelas perempuan ini.


Pituri yang disebut-sebut, yang akrab dipanggil Pak Pit oleh masyarakat setempat, adalah penyandang tuna rungu dan tuna wicara. Aku melihatnya memiliki keluasan batin dan kecintaan terhadap alam yang luar biasa. Lelaki berusia 60 tahunan ini dengan bahasa isyarat menggambarkan cara memilih bibit dan bertanam mangrove. Matanya nampak berbinar. Ia memberikan isyarat bahwa dalam beberapa tahun mendatang mangrove itu akan rimbun dan tumbuh subur. Dan masyarakat Teluk Youtefa yang secara turun temurun merupakan nelayan pesisir akan bisa selalu mendapatkan manfaat dari kesuburan mangrove itu, baik berupa ikan, udang, bia (jenis kerang mangrove) dan kepiting.


"Saya akan sedih jika mangrove rusak." Itu kira-kira yang diungkapkan Pituri masih melalui bahasa isyarat. Dan matanya menunjukkan sinar kesedihan. 


Aku memandang Pituri dengan rasa hormat yang luar biasa. Juga merasa salut atas kegigihan Mama Yane dan semua yang terlbat dalam program PEN penanaman mangrove ini. Ada rasa lega juga kurasakan saat kelompok Enggrich Mesi berjanji akan menjaga mangrove yang sudah ditabam agar tumbuh subur seperti halnya hutan mangrove lain yang sudah ada di kawasan Teluk Youtefa ini. Bagi mereka, mangrove memang merupakan tradisi kehidupan, penghidupan, masa depan dan harapan.