Geliat Mangrove Sumba Barat

By Admin


Oleh: Swary Utami Dewi

nusakini.com - Siang itu, 5 Desember 2020, langit Sumba Barat mendung. Aku dan teman-teman dari Balai Pengelolaan DAS dan Hutan Lindung (BPDASHL) Benain Noelmina, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), beserta tim Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Sumba Barat tiba di Balai Desa Palamoko, Kecamatan Lamboya, Kabupaten Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur. Balai Desa itu terletak di ketinggian ratusan meter dari permukaan laut. Dari ketinggian terlihat lokasi program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) penanaman mangrove. Wilayah lokasi tersebut langsung berhadapan dengan Samudera Hindia.


Penanaman mangrove di Desa Palamoko dilakukan oleh kelompok Tani Waru Indah di Desa Palamoko. Seluas 20 ha mangrove ditanam kelompok ini di pesisir desanya. Bibit mangrovenya adalah propagul sebanyak 66 ribu bibit.


Mayoritas penduduk Desa Palamoko adalah petani pekebun dan sesekali mereka juga menjadi nelayan. Wilayah kampung yang berada di pesisir menjadikan mereka memiliki ketergantungan terhadap mangrove. Mangrove menjadi penting bagi kehidupan masyarakat. Mangrove yang kokoh mampu melindungi desa dari hempasan ombak tinggi, ancaman tsunami dan abrasi. Kesuburan mangrove juga menjadi penjamin keberlanjutan sumber lauk pauk masyarakat pesisir ini.


Desa Palamoko juga sedang menggagas wisata. Ke depan, hutan mangrove di pesisir desa hendak dijadikan lokasi wisata mangrove. Aku menyaksikan keindahan muara tempat menanam mangrove puluhan hektar itu dari bukit yang menjadi tempat Balai Desa Palamoko. Dari atas Bukit Palamoko ini terbentang luas pemandangan laut lepas dan muara dipandang dari ketinggian. Di bukit ini juga sudah didirikan beberapa gazebo untuk pengunjung.


Hujan deras sempat meryertai kegiatanku di sini. Namun, hujan adalah berkah dan penambah semangat. Persis seperti pekikan adat Sumba Payawau (yang diserukan kaum lelaki), lalu disambut alunan pakallaka (dari perempuan) yang diperagakan kelompok saat aku datang. Indah saling bersambut. Dan aku bahagia bisa berbincang dengan petani di sini sambil menikmati singkong dan pisang rebus beserta air kelapa manis. 


Dari Palamoko, aku bergeser ke desa tetangga, yakni Desa Patiala Bawa. Jaraknya 10 menit naik kendaraan dari Palamoko. Desa ini dulunya merupakan desa induk dari Palamoko. Karena itu penduduk kedua desa ini memiliki karakter yang kurang lebih sama. Mereka polos, agak malu-malu untuk berbicara. Namun sorot mata mereka tajam menunjukkan semangat.


Desa Patiala Bawa letaknya jauh lebih rendah dibandingkan Desa Palamoko. Letaknya langsung di pesisir. Pantai desa terbentang indah. Pantai Kerewei namanya.


Di Desa Patiala Bawa ini aku berdiskusi dengan Kelompok Muara Indah. Di sini ada beberapa kampung yang terlibat dalam PEN penanaman mangrove, misalnya Kampung Kerewei, Untalaka dan Kampung Waruwora. Di Sumba, kampung setara dengan dusun. Luasan mangrove yang ditanam di pesisir pantai desa seluas 10 ha. Sebelum penanaman dilakukan, digelar upacara adat unttuk meminta restu leluhur. Lokasi yang dipilih untuk ditanam adalah Pantai Kerewei yang langsung berhadapan dengan Samudera Hindia. 


Karena masyarakat desa ini mayoritas nelayan dan mereka tinggal di pesisir, keberadaan mangrove sangat penting dalam kehidupan mereka. Masyarakat memahami bahwa mangrove yang subur adalah tempat tinggal atau berkembangbiak ikan, udang, kepiting dan kerang bakau. Seperti halnya Desa Palamoko, mangrove di Patiala Bawa nantinya juga bermanfaat untuk menahan abrasi, ombak besar dan tsunami.


Satu hal yang kusuka dari Kelompok Muara Indah adalah komposisi anggotanya. Sebagian besar anggota kelompok adalah para ibu atau mama-mama. Karena suami tiap hari pergi melaut, maka merekalah yang lebih banyak terlibat dalam program penanaman mangrove ini. Ke depan masyarakat merencanakan mangrove menjadi bagian ekowisata Pantai Kerewei. 


Semoga puluhan ribu bibit mangrove yang telah ditanam, baik di Palamoko maupun Patiala Bawa, kelak memang bisa memberi manfaat bagi masyarakat kedua desa ini.