Makna Cinta dan Pengorbanan

By Admin


Oleh : Swary Utami Dewi

Penggiat Urban Sufism dan Aksi Liteasi

nusakini.com - Apakah cinta dan pengorbanan itu? Apakah keduanya terpisah? Ataukah melengkapi, bahkan saling melebur? Bagaimanakah sebenarnya cara melihat dan memahami keduanya? Inilah yang dibahas dalam diskusi di kelas Urban Sufism, bertemakan "Cinta dan Pengorbanan dalam Kristen, Budha dan Islam", pada Jumat 31 Juli 2020.

Reza AA Wattimena, doktor filsafat lulusan Jerman, menelaah isu tersebut dari sudut pandang Budhisme. Ajaran Budha melihat, cinta dan pengorbanan tidak bisa lepas dari dharma. Terkait hal ini, Reza mengajak kita untuk memahami, bahwa meski aliran ajaran Budha ada bermacam jenis dan tradisinya berbeda-beda, namun intinya satu, yakni dharma. Tidak hanya itu. Reza bahkan berpendapat dharma merupakan inti dari ajaran semua agama. 

Lantas, apakah dharma itu sendiri? Ada tiga makna dharma yang dipaparkan Reza. Pertama, dharma bermakna jalan pembebasan dari penderitaan, hawa nafsu, dan segala hal yang membelenggu manusia. Kedua, dharma bisa dimaknai sebagai hukum-hukum alam. Dengan memahami hukum-hukum alam dan pola-pola alam semesta, manusia bisa keluar dari belenggu penderitaan. Manusia menemukan kebahagiaan. Ketiga, dharma bisa dimaknai memahami dunia apa adanya, dunia seperti adanya dunia. Dengan terus belajar memahami dan menjalani, maka suatu saat manusia akan mencapai moksa atau mukti, yakni terbebas dari belenggu penderitaan.

Kembali ke cinta dan pengorbanan, dalam kacamata dharma, keduanya adalah dua hal yang sama dan tidak bisa dipisahkan. Jika ada cinta, berarti ada pengorbanan. Jika berani berkorban, maka bisa mencintai. 

Apakah bentuk yang paling sempurna dari cinta dan pengorbanan? Jawabannya adalah alam semesta. Reza mengajak kita untuk menengok alam semesta, untuk mengambil contoh dari yang ada di alam. Bumi selalu berputar pada porosnya. Matahari setia terbit pagi dan saat senja kembali ke peraduan. Bumi mewadahi siapapun, mahluk apapun. Demikian pula cahaya matahari, selalu menyinari bumi dan isinya. Tiada perbedaan apakah ia manusia, hewan atau tumbuhan. Tiada pula pilih kasih apakah manusia itu baik atau buruk. Itulah dharma. Dharma tidak memilih atau membeda-bedakan. Dharma selalu mengandung unsur kerelaan dan pengorbanan tanpa pamrih.

Reza mengajak kita pula untuk memahami bahwa cinta dalam kacamata dharma adalah moralitas kosmik yang berpusat pada hukum-hukum alam. Hukum ini adalah fisika yang bersifat universal. Artinya, berlaku pada alam semesta.

Perlu dipahami lebih lanjut bahwa pandangan kosmik melihat segala sesuatu yang ada di alam semesta ini saling terhubung satu dengan yang lain. Semua saling terkoneksi. Segala sesuatu dalam semesta ini adalah energi, satu dan sama. Yg berbeda adalah "topping" atau kulit luar. Namun isinya tidak berbeda, yakni energi yg sama. 

Dalam kehidupan sehari-hari, realisasinya sangat sederhana. Karena secara kosmik kita semua terhubung, maka jika kita berbuat baik kepada yang lain, itu berarti kita berbuat baik terhadap diri kita sendiri. Demikian pula sebaliknya. Jika kita berbuat jahat ke sesama, maka itu berarti kita berbuat jahat terhadap diri sendiri. Maka dalam sudut pandang ini, tidak ada pengorbanan. Apa yang kita beri, itu yang kita terima. Sebanyak apa yang kita keluarkan, sebanyak itu pula kembali ke diri kita. Itulah moralitas kosmik.

Kesadaran akan cinta dan pengorbanan serta moralitas kosmik inilah yang perlu selalu dilatih. Jika manusia berhasil memahaminya, maka ia akan mengalami pencerahan, terbebas dari belenggu penderitaan dan kebodohan. Manusiapun menyadari siapa diri mereka sebenarnya, bahwa manusia hakikatnya adalah alam semesta.

Beralih ke pencerahan berikutnya dari Suster Gerardette Phillips atau Suster Gera. Suster Gera melihat dari sudut pandang ahlul kitab, khususnya Kristiani, yakni dari contoh yang diberikan Ibrahim mengenai cinta dan pengorbanan kepada Tuhan. Cinta Ibrahim kepada Tuhan adalah dalam bentuk kerelaan berkorban, bahkan saat diminta untuk mengorbankan anak sekalipun. Cinta dan pengorbanan Ibrahim kepada Tuhan tidaklah sia-sia. Tuhan menggantinya dengan domba.

Juga saat mengirim Yesus ke dunia, Tuhan menunjukkan cintanya kepada manusia. Kasih Tuhan tidak pernah meninggalkan manusia. Kasih ini diwujudkan dalam bentuk mengirim Yesus untuk hadir di dunia. Yesus adalah domba yang dikorbankan untuk manusia. Ia dihadirkan untuk menjembatani kesenjangan antara manusia dan Tuhan. Jadi, Yesus hadir untuk menghubungkan manusia dan Tuhan.

Bagaimana dalam masa pandemi ini? Apakah kita memandang Tuhan mengabaikan manusia? Jawabnya tegas: tidak. Tuhan tidak pernah meninggalkan manusia. Sama seperti halnya Tuhan mengulurkan kasihnya kepada Ibrahim. Sama halnya seperti Tuhan menurunkan Yesus dalam kehidupan manusia. Cinta Tuhanpun selalu hadir untuk manusia dalam masa pandemi. Ini diwujudkan mannusia dalam berbagai bentuk kepedulian dan saling berbagi kasih kepada mereka yang membutuhkan.

Dalam konteks cinta kasih dan pengorbanan, manusia yang punya sifat selalu "ingin lebih" (infinite) dan "lebih baik" (better) bisa mewujudkannya dalam bentuk selalu berbuat lebih dan lebih baik lagi bagi sesama.

Prof Komaruddin Hidayat memperkaya renungan mengenai cinta dan pengorbanan dalam sudut pandang Islam. Mas Komar menjelaskan bahwa Tuhan dalam tradisi agama-agama yang diturunkan Ibrahim adalah Tuhan yang bersifat persona. Ada dua sifat Tuhan di sini. Satu adalah maskulin, misalnya perkasa (jalal). Satunya lagi feminin, misalnya indah (jamal). Dari dua sifat maskulin dan feminin ini, sifat femininlah yang lebih ditonjolkan. Contoh yang paling nyata adalah Rahman dan Rahim: Maha Pengasih dan Maha Penyayang.

Apa makna dari penonjolan sifat feminin ini? Rahman dan Rahim hendaknya menjadi landasan manusia dalam bersikap dan bertindak terhadap diri, sesama dan alam. Rahman berarti kasih, yang diterapkan ke semua, sebagai sesama ciptaan Tuhan. Juga terhadap seisi bumi. Kodrat manusia adalah rahmatan lil-alamin, menjadi rahmat bagi seluruh alam.

Sejalan dengan sifat Rahman, ada Rahim yang selalu berdiri berdampingan. Rahim menyiratkan cinta manusia seperti layaknya cinta seorang ibu. Seorang ibu yang mengandung adalah manisfestasi cinta Tuhan. Demikian pula saat melahirkan dan membesarkan anak-anaknya. Di sini ada cinta, ada pula pengorbanan tanpa pamrih dari sang ibu.

Akhirnya, Mas Komar mengajak kita semua untuk menerapkan cinta dan pengorbanan dalam kehidupan sehari-hari. Realisasinya bisa ditemui dan dilakukan dari hal-hal sederhana. Sebagai contoh: mengantri. Dalam antri ada pengorbanan untuk mengikuti aturan dan melebihkan waktu untuk menunggu bergiliran. Antri ini lalu memberikan manfaat berupa kemudahan dan keteraturan bagi diri sendiri dan semua yang mengantri dan melayani. 

Dari paparan di atas kita bisa memahami bahwa cinta dan pengorbanan selalu saling berdampingan dan memberi manfaat. Tidak ada kesia-siaan dalam cinta dan pengorbanan. Apa yang kita lakukan dalam konteks cinta dan pengorbanan akan kembali lagi ke diri kita.