"Mending pelihare bebek bisa gemuk, nah ini oplet," kata maknyak misuhin oplet milik Babe Sabeni.

"Enak aje bande gue mau lu jual. Itu oplet udah jadi barang antik, kalo mau gue jual harganya mahal," jawab Babe Sabeni.

Dialog antara ayah dan ibu Si Doel itu masih melekat bagi pecinta sinetron lintas zaman, Si Doel Anak Sekolahan. Mobil Oplet yang merupakan media mencari uang bagi keluarga Si Doel, menjadi salah satu ikon sinetron yang melegenda tersebut.

Benar kata Babe Sabeni, Oplet di era sekarang sudah menjadi barang antik. Dan tentu saja harganya mahal. Sebut saja oplet milik Rano Karno yang menjadi properti film Si Doel. Rano menyebut opletnya pernah ada yang menawar hingga Rp 1 miliar. Bahkan Rafi Ahmad pernah menawarkan tukar guling dengan mobil Rolls Royce seharga Rp 15 Miliar.

Lantas bagaimana sejarah mobil oplet yang pernah berjaya di Jakarta pada medio 1950-an. Kita mulai cerita dari semrawutnya lalu lintas di Batavia pada 1920-an.

Sejak 19-an, beberapa mobil buatan Amerika dan Eropa, seperti merk Chevrolet, Buick, Oplet, Austin, Morris dan Fiat. Nama Oplet dari kata Opel sampai tahun 1970-an merupakan angkutan penumpang utama di Jakarta. Seperti juga mikrolet, para penumpang duduk saling berhadapan.

Kendaraan Oplet kemudian digantikan dengan Austin juga buatan Eropa. Sekalipun sudah digantikan Austin, tapi nama Oplet lebih populer. Naik Oplet, bukan naik ostin sebutan orang-orang ketika itu, Kini baik nama Oplet maupun ostin sudah tidak terdengar lagi sejak beroperasinya mikrolet awal 1970-an.

Oplet memang sudah dijadikan mobil penumpang sejak 1950-an. Puncak kejayaan Oplet ada di kurun waktu 1960-an sampai 1970. Rute Oplet di Jakarta yakni Stasiun Jatinegara, Matraman Raya, Salemba Raya, Senen, Pasar Baru, dan Harmoni.

Di era Gubernur DKI Jakarta Tjokropranolo keluar kebijakan pada 1979 untuk menghapus Oplet. Kendaraan legendaris itu pun dipensiunkan dan digantikan Mikrolet sebagai mobil angkutan kota.

Oplet hadir menjawab kebutuhan alat transportasi di era Kolonial Belanda, khususnya di Batavia. Sejak era 1920-an, jumlah mobil yang wara-wiri di Batavia meningkat tajam.

Kehadiran Oplet membuat warga Batavia perlahan-lahan meninggalkan alat transportasi yang menggunakan tenaga hewan, seperti trem kuda atau delman. Sekitar 1930-an, hadir jenis angkutan mobil penumpang yang disebut autolettes. Diplesetkan lidah orang Betawi sebagai Oplet.

Tak hanya di Jakarta, Oplet juga beroperasi di Malang dan Surabaya. Kendaraan yang memiliki dua pintu di bagian depan dan satu pintu di belakang sebagai tempat keluar masuk ini berasal dari mobil sedan Morris Traveller, asal Inggris.

Awalnya kapasitas Oplet hanya untuk empat sampai lima penumpang. Namun, berkat modifikasi mobil yang seluruh badannya berbahan kayu ini mampu mengangkut 10 penumpang di dalamnya.

Semrawut Lalin Pasar Senen

Sejak puluhan tahun lalu, tingkat kedisiplinan warga Jakarta dalam berlalu lintas sangat parah. Banyak yang tak malu melanggar lalu lintas. Becak seenaknya menyerobot kendaraan di jalan protokol, motor tak kenal malu menyerobot jalur bus.

Saat itu belum muncul lampu lalu lintas seperti sekarang. Polisi lalu lintas (polantas) harus rela berjam-jam menggerakkan kedua tangannya untuk mengatur kendaraan. Untuk mengatur jalan mana yang berhenti dan jalan mana yang harus jalan, anggota Polantas berdiri di tempat yang ditinggikan dan diberi semen.

Setelah penyerahan kedaulatan tahun 1950, penduduk Jakarta melonjak dengan tajam. Soalnya ketika Bung Karno, Bung Hatta dan para pemerintahan dipindahkan ke Yogyakarta (Januari 1946), penduduk Kota Gudek yang kini tengah mengalami musibah gempa, melonjak dari 170 ribu jiwa menjadi 600 ribu jiwa.

Setelah penyerahan kedaulatan, mereka kembali ke Jakarta. Di samping mereka yang hijrah ke Yogya, berbagai masyarakat di daerah-daerah juga ngendon ke Jakarta. Apalagi dengan dibangunnya banyak departemen.

Salah satu toko paling terkenal di Pasar Senen ketika itu adalah toko Baba Gemuk. Dinamakan demikian karena si baba berperawakan gemuk.

Di Pasar Senen kala itu ada Rumah Makan Padang Merapi. Kita perlu mengangkat rumah makan ini, sekarang jadi jalan arteri, karena di sinilah tempat para seniman Senen ngumpul di malam hari. Rumah makan padang ini letaknya di Kramat Bunder berdekatan dengan bioskop Grand (kini Kramat).

Dewasa ini, Seniman Senen yang biasanya nongkrong sambil membicarakan sandiwara dan film tinggal SM Ardan, Misbach Yusa Biran, Ayip Rosidi dan Harmoko. Di antara yang telah meninggal adalah Wahyu Sihombing, Soekarno M Noer dan adiknya Ismed M Noer, Syuman Jaya, dan Wahid Chan yang digelari camar seniman Senen. Acara diskusi dan omong-omong dimulai sekitar pukul 22.00 WIB dan makin malam makin ramai hingga jelang shubuh.

Seperti dikemukakan SM Ardan, ketika itu hampir tidak ada membicarakan masalah politik. Karena antara kelompok kiri dan kanan tidak ada masalah kala itu. Karena tidak ada yang mempertentangkan ideologi. Baru pada 1960-an, para seniman PKI dengan Lekranya mulai mempengaruhi para seniman, termasuk seniman Senen untuk masuk dalam kelompok mereka. (Rep)